Kamis akhir Mei lalu, sebuah kapal nelayan membawanya ke daratan di dermaga TPI Lampulo dalam kondisi membusuk. Bayi hiu ini seharusnya punya kesempatan tumbuh dewasa, tapi sayang spesies mamalia laut itu mati tragis di tangan pemburunya.
Pemandangan hiu tertangkap nelayan bukan hal langka di Aceh. Serambi yang menelusuri TPI Lampulo dengan mudah menemukan ikan predator itu. Di tangan para pemburu, hiu yang dikenal ganas tak mampu berkutik.
Semua sirip hiu dewasa dipotong nelayan untuk dijual kembali kepada agen di Medan. Dalam beberapa kasus perlakuannya lebih tragis: Nelayan memotong siripnya saat masih hidup, lalu membuang bagian tubuhnya ke laut.
Permintaan akan produk ikan hiu, terutama siripnya, telah menjadikan hiu sebagai target utama dalam penangkapan ikan. Lembaga Konservasi Dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) menempatkan semua spesies hiu dalam daftar merah.
Menurun drastis
Di TPI Lampulo, Serambi mengamati seorang lelaki paruh baya menjajakan enam ekor hiu seukuran setengah meter di pinggiran jalan padat pengunjung. Nurdin, nama lelaki itu. Dia dikenal sebagai penjual hiu.
Di kelompok spesies predator, hiu seukuran setengah meter masih tergolong kecil. Tapi Nurdin tak peduli asal menghasilkan rupiah. Ia menjual hiu itu Rp 150.000-Rp 250.000 per ekor. Dia lebih dulu memotong siripnya sebelum jatuh ke tangan pembeli.
Sop sirip ikan hiu |
Hari itu diperkirakan tak kurang 150 ekor hiu berbagai ukuran dan jenis masuk ke dermaga TPI Lampulo. Sejumlah tauke dan pengepul siap membeli dengan harga bervariasi.
Serambi menemukan satu hiu dewasa ukuran 2,6 meter dengan panjang sirip atas 29 cm dijual Rp 1,5 juta. Dari rongga mulutnya mengalir darah segar bekas jeratan kail.
“Kalau dulu ikan hiu sebesar itu harganya bisa Rp 4 juta. Tapi sekarang sudah turun. Paling laku Rp 1, 5 juta,” kata Daud, lelaki yang sehari-hari mangkal di TPI Lampulo sebagai pengepul ikan.
Daud menceritakan, sejak beberapa tahun terakhir hiu mulai langka. Jumlah tangkapan nelayan menurun drastis dibanding beberapa tahun sebelumnya. Meskipun begitu, faktanya hiu hasil tangkapan nelayan selalu ada di tempat pelelangan ikan.
“Kalau beberapa tahun lalu 1 kilogram siripnya bisa Rp 2,8 juta, tapi sekarang sekitar Rp 400.000 per kilo,” kata Daud.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui SK Nomor 59 Tahun 2014 telah melarang sementara ekspor sirip Hiu Martil dan Hiu Koboi.
Larangan ini terhiting sejak 10 Desember 2014 hingga 30 November 2015. Sementara Uni Eropa telah mengeluarkan peraturan ketat tentang perburuan sirip hiu. Dalam peraturan itu, sirip hiu tak boleh dilepaskan saat masih hidup.
Aturan ini berlaku untuk semua kapal di perairan Uni Eropa. Aturan ini juga menutup pengecualian yang diterapkan oleh aturan Uni Eropa terdahulu, yang mengizinkan nelayan dengan izin khusus untuk melepaskan sirip dari bangkai hiu di laut.
* * *
DI Aceh, hiu masih menjadi target utama tangkapan nelayan. Para nelayan seperti tak peduli dengan ancaman kepunahan ikan predator laut itu akibat sering diburu.
Selain diburu dengan sengaja, ada pula hiu tertangkap lewat by catch (sampingan), saat nelayan menangkap tuna.
Daging hiu kerap singgah di meja warung nasi di Aceh sebagai menú khas. Di pasaran, daging hiu dijual mulai dari harga Rp 20.000 sampai seratusan ribu.
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Aceh tidak mampu berbuat banyak menghentikan aktivitas nelayan memburu hiu.
“Sejauh masih ada pemintaan hiu untuk konsumsi tinggi, maka sulit untuk kita menekan penangkapannya agar dihentikan,” kata Dr Farok Afero, kepala Seksi Pengelolaan Pesisir Pulau-Pulau Kecil dan Konservasi Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh kepada Serambi akhir Mei lalu.
Proses pengambilan sirip hiu |
Jika hiu terus diburu, maka mamalia laut tersebut bisa punah dalam waktu tertentu. Menurutnya, hiu memiliki karakter biologis yang spesifik.
Seperti berumur panjang, fekunditas (lajur reproduksi) rendah, jumlah anakan sedikit, lambat dalam mencapai matang kelamin dan pertumbuhannya lambat. Sehingga sekali terjadi over eksploitasi sulit bagi populasinya kembali pulih.
“Kita berharap di kalangan nelayan agar tumbuh kesadaran kolektif untuk menyelamatkan hiu dari ancaman kepunahan,” ujarnya.
Farok menyebutkan aktivitas nelayan menangkap ikan berlebihan (over fishing), dengan alat tangkap yang merusak semakin mengancam populasi hiu di Aceh.
Namun sejauh ini pihak DKP belum memilik data pembanding seberapa besar tingkat ancaman kepunahannnya.
“Kita terus berusaha menyosialisasi kepada masyarakat nelayan tentang spesies ikan yang dilindungi dengan beberapa kriteria. Seperti jenis ikan yang terancam punah, langka, endemik, fekunditas rendah dan populasi turun drastis,” ujarnya.
Menurut Farok, upaya melindungi hiu tidak hanya tugas dan tanggung jawab pihak DKP semata.
“Semua pihak harus terlibat. Termasuk lembaga Panglima Laot yang bersentuhan langsung dengan nelayan,” demikian Farok. (ansari hasyim)
Editor's Choice
Tidak ada komentar:
Posting Komentar