Jumat, 28 Januari 2005. Kota Helsinki berselimutkan salju.
Dari balik telepon genggamnya, Hamid Awaluddin berbicara dengan Wapres Jusuf Kalla, beberapa saat sebelum delegasi Pemerintah RI memulai perundingan putaran pertama dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Wapres memberi beberapa petunjuk kepada Hamid Awaluddin sebelum amanat negara itu ia emban.
Sementara sinar matahari pagi baru saja menyembul seperti bayangan di balik kabut di langit Helsinki, di penghujung musim dingin.
Seusai sarapan pagi Hamid bersama delegasi Pemerintah RI menuju sebuah mansion.
Letaknya di Vantaa, 25 km dari luar Kota Helsinki, Finlandia.
Ruangan perundingan agak kecil, hanya memuat meja bundar berornamen klasik di tengah-tengahnya.
Sebuah piano hitam terdapat di sudutnya. Jarum jam menunjukkan pukul 9.30 pagi saat perundingan dimulai.
Perundingan putaran pertama dibagi dalam dua format.
Yakni pertemuan antara dua delegasi yang dimediasi mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari.
Pertemuan langsung hanya terjadi antara delegasi RI dan GAM. Masing-masing terdiri atas lima anggota.
Dari pihak pemerintah hadir Hamid Awaluddin sebagai Ketua Delegasi, dengan anggota Sofyan Djalil, Farid Husein, Usman Basya dan Agung Wesaka Puja.
Dari pihak GAM hadir Malik Mahmud (Ketua), dr Zaini Abdullah, Nur Djuli, Nurdin Abdurrachman dan Bachtiar Abdullah.
Sedangkan dari pihak mediator terdiri atas Martti Ahtisaari, Hannu Himanen, Juha Christensen dan Maria.
"Bertemu langsung dengan pimpinan GAM dan bergaul dekat dengan mereka, tak pelak membuat saya kian mengenali karakter mereka satu persatu," kata Hamid seperti dikutip dalam bukunya "Damai di Aceh (Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki)".
Perunding dari GAM didominasi oleh Nur Djuli dan Nurdin Abdurrachman.
Nur Djuli menyoroti masalah-masalah umum.
Ia berbicara dengan gaya teatrikal. Sementara Nurdin Abdurrachman berkonsentrasi pada masalah bersifat kasuistik.
Lain lagi dengan Malik Mahmud dan Zaini Abdullah.
Malik Mahmud sangat lembut. Ia selalu menggunakan kata-kata yang halus.
Sedangkan Zaini Abdullah cenderung berbicara tegas dan ingin mengambil kesimpulan cepat.
"Terasa benar bagi saya, jam terbang Malik Mahmud dan Zaini Abdullah dalam meja perundingan sangat panjang.
Kata-katanya terasa terukur dan ditimbang penuh sebelum dikeluarkan," tutur Hamid.
Dari Pemerintah Indonesia tampil sebagai juru bicara Hamid Awaluddin dan Sofyan Jalil.
Di bidang hukum dan politik lebih banyak disuarakan Hamid. Sementara bidang ekonomi, pembangunan, kesejahteraan, sosial diulas Sofyan Jalil.
Pada perundingan putaran pertama ini banyak hal yang dibahas.
Antara lain kondisi Aceh yang baru saja porak-poranda dihantam tsunami, gencatan senjata dan kerangka Otonomi Khusus (Otsus) yang ditawarkan Pemerintah.
Namun GAM tampaknya berbeda pendapat. GAM menilai perundingan harus keluar dari konteks Otsus agar tidak terkesan kaku.
Sementara Martti Ahtisaari menghendaki perundingan dilakukan dalam wilayah Otsus.
Perbedaan mendasar GAM dengan Martti Ahtisaari ini sempat memanas.
Martti Ahtisaari membanting pensil ke atas meja dan mengatakan.
"Jangan coba-coba lagi membawa agenda kemerdekaan di sini. Anda hanya akan membuang-buang waktu saya di sini. Kalau Anda tetap mau merdeka, silakan tinggalkan meja perundingan dan tidak pernah kembali lagi ke sini," ujarnya dengan nada tinggi.
Dengan posisi yang tegas dari Ahtisaari tersebut, pihak GAM akhirnya ikut dengan agenda yang ‘dipatok’ oleh Ahtisaari, tanpa lagi membawa isu merdeka dalam perundingan.
* * *
Suatu siang di sela-sela perundingan. Musim dingin sedang di puncak. Salju turun di atap Mansion, pucuk-pucuk pepohonan dan permukaan taman.
Hamid Awaluddin diapit Malik Mahmud dan Zaini Abdullah menyusuri tepian kali yang licin dengan perlahan.
Tetapi Hamid menggigil kedinginan. Ia lupa membawa mantel yang tersampir di ruang depan Mansion.
Melihat itu, Malik Mahmud yang berbadan tinggi merentang tangan dan merangkul pundaknya. Malik tergugah oleh keindahan luruhan salju di sekitar mereka.
Rasa harunya bangkit. Ia berbicara lirih setengah berbisik: "Pak Hamid, saya sangat merindukan sanak famili saya di Aceh. Saya juga sangat ingin berdiri di pantai Aceh melihat perahu Bugis berlayar.
Saya mencintai perahu Bugis. Dulu, orang tua saya di Singapura, memiliki perahu Bugis untuk mengantar barang niaga.
Setiap sore saya naik perahu itu, ikut makan siang bersama awak perahu asal tanah Bugis,"ungkap Malik Mahmud, seperti membangkitkan keping-keping masa silamnya.
Zaini Abdullah menimpali, "Saya juga ingin sekali menikmati gulai kambing ala Aceh." Mendadak keharuan menyelimuti ketiganya.
Ucapan itu seperti tertelan semilir angin yang menyusuri permukaan kali sekitar Mansion, tapi maknanya menghujam di hati Hamid Awaluddin.
Hamid hanya bisa menjawab, "Insya Allah Teungku. Semua akan kita wujudkan dalam waktu dekat.. We will make it, Tengku. We will make it," gumam Hamid.
Ketiganya berangkulan di tengah hamparan salju yang jatuh menutupi jalan-jalan Kota Helsinki.
* * *
Putaran kedua perundingan damai Aceh mulai menyentuh subtansi. Kedua pihak membicarakan tentang Otonomi Khusus, konsep Pemerintahan Sendiri (Self Government), amnesti dan HAM.
Namun antara para pihak masih terjadi perbedaan pandangan tentang konsep Self Government yang diajukan GAM. Perbedaan pandangan itu berlanjut ke putaran ketiga.
Namun kali ini, pembicaraan telah menyentuh subtansi persoalan. Sebagai contoh GAM sudah menanggapi dan mengajukan usul konkret tentang apa yang mereka kehendaki. Termasuk tuntutan GAM untuk membuat hukum baru di Aceh.
Mereka menghendaki adanya perubahan total undang-undang yang mengatur tentang Aceh. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya delegasi Indonesia yang diwakili Hamid Awaluddin mempersilakan Nurdin Abdurrahman merincikan daftar keinginan GAM.
"Alhamdulillah Nurdin memang datang dengan daftar yang detail," ujar Hamid.
Partai lokal
Penghujung Mei 2006. Musim dingin di Eropa telah berlalu. Penduduk Kota Helsinki, Finlandia menyambut musim semi yang indah.
Bunga-bunga bakung (lily) di tepian danau Vantaa bermekaran, pohon-pohon birch menjulang dan tidak lagi meranggas. Angsa-angsa berenang di telaga mengepak sayap menimbulkan keciprak air.
Di tengah alam Helsinki nan permai itu, kedua delegasi datang dengan optimisme yang tinggi.
Seperti putaran ketiga, pada putaran keempat perundingan, kedua pihak lebih banyak berhadapan langsung tanpa mediasi Martti Ahtisaari.
Sementara nun jauh di sana, Indonesia, suara gemuruh dan sumbang gencar ditiupkan media massa. Terutama soal keinginan GAM yang menuntut mendirikan partai politik lokal di Aceh.
Delegasi pemerintah berada dalam posisi sulit, karena keinginan GAM mendirikan partai lokal bertentangan dengan UUD 1945. Hamid lalu menelepon Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan.
Bagir mengatakan, "Tidak ada larangan secara eksplisit dalam konstitusi kita. Yang jadi soal hannyalah sensitivitas politik, yang bisa ke mana-mana." Bagir Manan memberi secercah harapan.
"Hati saya pun tidak gundah lagi. Setidaknya dari perspektif legal, saya tidak ada keraguan," tutur Hamid.
Isu parlok tersebut juga disampaikan Hamid kepada Jusuf Kalla lewat telepon. Respons JK sangat positif.
"Segala yang bisa kamu lakukan, jalankan saja, selama tidak melanggar konstitusi. Yang penting bagaimana saudara-saudaramu di Aceh berhenti berkelahi," kata Wapres.
Setelah itu, Hamid menyampaikan Ikhwal itu kepada Ahtisaari dan ia langsung menyambut baik.
Ahtisaari pun meminta pertemuan segitiga; Hamid Awaluddin (pemerintah RI), Malik Mahmud, Zaini Abdullah (GAM) dan dirinya. Ahtisaari cenderung mendukung ide parlok yang digagas GAM.
"GAM tidak menghendaki kendaraan (politik) lain kok. GAM juga tidak tertarik dengan urusan politik tingkat nasional. Ini perlu sekali dipikirkan," ucap Ahtisaari.
Hamid lalu mengusulkan agar GAM mengajukan judicial review UU Partai Politik. Tapi belakangan GAM kehilangan gairah untuk menempuh judicial review ke MK.
Hal lain yang menonjol dalam perundingan putaran ketiga ini adalah untuk pertama kalinya Pieter Feith dari Uni Eropa datang ke meja perundingan, yang belakangan mengetuai lembaga independen Aceh Monitoring Mission (AMM) pascadamai.
AMM adalah lembaga yang memantau misi perdamaian di Aceh.
Putaran akhir
Pertengahan Juli 2005. Putaran kelima perundingan adalah amat menentukan dan dinanti.
Betapa tidak, dalam putaran terakhir dialog damai inilah draf MoU antara pemerintah Indonesia dan GAM akan diparaf kedua pihak.
Tapi satu yang masih mengganjal. Pemerintah Indonesia belum ada keputusan kongkret tentang tuntutan GAM mendirikan parlok menjadi klausul MoU.
Bagi Ahtisaari parlok bukan hanya menyangkut identitas, tapi juga harga diri. Ia berada dalam posisi mendukung ide itu.
"Coba Anda masukkan kaki Anda pada sepatu GAM dan rasakan bagaimana itu. Jangan Anda masukkan kaki di sepatu Anda sendiri," ujar Ahtisaari.
Dalam suasana yang mendebarkan itu, Hamid bersama Sofyan Jalil berkonsultasi dengan Jakarta.
"Tak terbilang lagi berapa kali gerangan saya menelepon Menko Polhukam Widodo AS dan tentunya Wapres. Keduanya minta kami bertahan dulu," ujar Hamid.
Sementara JK dan Widodo sendiri tak henti berkonsultasi dengan Presiden SBY. Dalam puncak ketegangan lantaran perbedaan sikap soal partai politik lokal yang masih menggantung, Malik Mahmud dan Zaini Abdullah mengajak Hamid ke tepi kali.
“Tidak ada di antara kami yang bicara, kendati perjalanan menelusuri tepian kali sudah cukup jauh kami tempuh,” ujar Hamid.
Untung saja, Farid Husein tiba-tiba muncul dari arah depan, dan memecahkan keheningan serta kebuntuan.
“Saya ikuti Bapak-bapak dari tadi, siapa tahu ada yang tiba-tiba mau nyemplung ke sungai. Yang pasti, Pak Hamid harus dijaga baik-baik, karena dia tak bisa berenang,” kata Farid menggoda.
Sementara Malik Mahmud menggapit tangan Hamid dan mengatakan, “Kewajiban saya untuk selalu menjaga keselamatan Pak Hamid sebab kami amat membutuhkan beliau,” ujar Malik Mahmud.
Mendengar itu, Hamid pun kian optimis, perundingan bisa cair lagi. Seharian penuh memang mereka tidak berkomunikasi. Soal partai politik lokal ini, segalanya terasa membedah.
Akhirnya memang segala alasan dan ikhtiar untuk meyakinkan GAM agar tidak menuntut pendirian parlok, kandas.
MoU Helsinki yang ditandatangani kedua pihak pada 15 Agustus 2005, secara eksplisit membuka peluang untuk itu. Lalu DPR bersama Pemerintah pun mengesahkan UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang membuka pintu pendirian parlok di Aceh.
Begitulah. Ketika perundingan telah tuntas dengan gemilang, Tim Perunding GAM dan Hamid Awaluddin bersama juru runding lainnya meninggalkan Mansion di Vantaa dengan kenangan yang tak pernah pupus; tentang kali dengan air yang mengalir bening di belakang gedung tempat perundingan berlangsung.
Jutaan rakyat Aceh meneteskan air mata kala itu. Damai sudah bersemi. Rakyat Aceh menyambutnya penuh suka cita dan rasa syukur.
Di warung kopi hingga Masjid Raya Baiturrahman, warga berjubel menyaksikan peristiwa bersejarah tersebut.
Kini damai Aceh telah menapaki usia 10 tahun, sebuah rentang waktu yang amat mahal jika Aceh kembali ke masa lalu. [ansari hasyim]
Editor's Choice
Tidak ada komentar:
Posting Komentar