Pernikahan setiap manusia adalah momen sakral.
Namun di Aceh ada 12.000 lebih pasangan suami istri (pasutri) yang justru pernikahan mereka bermasalah: Statusnya tidak diakui negara.
Apa penyebabnya dan bagaimana pula pemerintah memecahkan persoalan ini?
DARUL Aman (52) dan Rohanum (51) tak mampu menahan haru.
Pasutri asal Desa Mandale, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah, itu seperti menemukan kembali makna hidupnya.
Pernikahan yang sudah mereka jalani selama 20 tahun tanpa kepastian hukum, kini telah mendapat pengakuan negara.
“Sejak lama saya sudah menginginkan agar pernikahan kami dicatat oleh negara, tapi baru sekarang berhasil,” kata Darul Aman kepada Serambi pekan lalu.
Darul Aman termasuk yang beruntung.
Dalam waktu tak kurang 15 menit, pernikahan mereka resmi diakui negara setelah mengikuti sidang isbat (pengesahan pernikahan) di Kabupaten Aceh Tengah, awal Juni lalu.
Sidang isbat digelar gratis melibatkan tiga institusi: Mahkamah Syar’iyah, Kanwil Kemenag, dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil).
Tapi sayangnya, peserta sidang isbat terbatas 25 pasangan. “Saya mendapat banyak pertanyaan dari teman-teman, bagaimana agar mereka juga bisa mendapat buku nikah seperti saya,” ujar Darul Aman yang hidup dari usaha bertani.
Potret Darul Aman dan istrinya adalah satu di antara ribuan kasus pasutri di Aceh yang sudah menikah, tapi tidak diakui negara— sebelum menjalani isbat nikah.
Mereka berada dalam kelompok rentan bermasalah. Anak-anak dan istri dari perkawinan tanpa akta nikah terancam kehilangan hak dan akses publik.
Akta nikah atau lazim disebut buku nikah merupakan dokumen negara yang penting harus dimiliki pasangan sudah menikah secara sah bagi pemenuhan hak, khususnya perempuan dan anak, dalam mendapatkan pelayanan publik.
Masalah serius
Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari ketentuan tersebut ditegaskan sahnya suatu perkawinan apabila dilakukan menurut masing-masing agama maupun kepercayaannya.
Namun demikian diatur pula bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam yang mengatur: “Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.”
Serambi yang melakukan penelusuran menemukan fakta persoalan buku nikah kian menjadi masalah serius di tengah masyarakat.
Banyak pasutri yang berhasrat melegalkan status pernikahannya, namun sulit mengurusnya. Mereka menghadapi kendala biaya, butuh waktu, dan jauh dari akses kota.
Local Governance Innovation for Communities in Aceh (LOGICA2) dalam penelitiannya menyebutkan, di Pidie Jaya (Pijay) dan Bireuen saja jumlah pasutri yang tidak memiliki akta nikah mencapai 1.608 pasangan.
Di Pidie Jaya tercatat ada 1.064 pasutri di enam kecamatan dan 72 desa yang tak memiliki akta nikah dari jumlah 222 desa.
Sementara di Bireuen dari empat kecamatan dan 34 desa yang diteliti, 544 pasutri tak mengantongi akta nikah.
Permohonan isbat
Menurut hasil penelitian LOGICA2, pasutri tanpa akta nikah paling banyak terjadi saat Aceh dilanda koflik bersenjata.
Situasi politik yang memanas kala itu membuat proses penikahan tidak berjalan normal.
Pernikahan terjadi tanpa dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Biasanya proses pernikahan hanya dihadiri perwakilan dari Kantor Urusan Agama (KUA).
Lalu banyak pengantin hanya mencatat tanggal pernikahan mereka di selembar kertas atau dinding rumah.
Pasangan Marzuki dan Cut Hasnani adalah satu di antara banyak korban dari situasi konflik Aceh yang menyebabkan status pernikahannya kini tak diakui negara.
“Saya menikah tahun 2000 di masjid yang hanya dihadiri oleh utusan KUA di kampung. Waktu itu tidak ada petugas pencatat nikah. Saya mencatat sendiri di buku lengkap dengan tanggalnya,” kata Marzuki, warga Desa Teupin Peuraho, Kecamatan Meuredu, Pidie Jaya.
Kantor Kementerian Agama merilis saat ini jumlah permintaan isbat nikah di Aceh mencapai 11.788 pasangan.
Sedangkan pasangan yang telah diisbatkan baik terpadu maupun non-terpadu mencapai 2.181 pasangan.
Sedangkan jumlah pasangan tanpa akta nikah, tidak ada yang mengetahuinya.
“Untuk kepentingan isbat nikah untuk korban konflik dan tsunami Gubernur Aceh secara khusus menyurati Menteri Agama meminta dukungan buku isbat nikah dan telah diluluskan 4.000 buku. Buku ini hanya digunakan khusus untuk kegiatan isbat, tidak boleh untuk pernikahan reguler,” ujar Kabid Urais dan Bimsyar Kanwil Kemenag Aceh, Hamdan MA.
Dia sendiri tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk ‘menikahkan kembali’ puluhan ribu warga Aceh yang diyakini belum mendapatkan akta nikah.[ansari hasyim]
Editor's Choice
Tidak ada komentar:
Posting Komentar