Syariat Islam: Antara Kepastian Hukum dan Jerat Cemeti - ansaridaily

Mobile Menu

Top Ads

Berita Terbaru

logoblog

Syariat Islam: Antara Kepastian Hukum dan Jerat Cemeti

2/28/2017

Tapi dalam praktiknya, tidak semudah yang dibayangkan melaksanakan eksekusi cambuk bagi terdakwa

Hukuman cambuk di depan Masjid Oman Lamprit
LELAKI itu bergegas bangkit dari sofa menuju ke sebuah meja di ruangan tempat beberapa dokumen penting tersimpan. Tak berapa lama ia kembali dengan satu foto kopi kliping berita di tangannya. Siang itu, Selasa (4/12/ 2012), jarum jam menunjukkan pukul 12.15 WIB. Dari sini lantunan ayat suci Alquran begitu jelas terdengar lewat corong mik menara Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.

"Saya sengaja menyimpannya. Coba Anda baca ini, ini tidak benar. Tidak pernah Saya menerima uang seperti dirincikan dalam berita ini. Hakim itu menjalankan tugas negara. Saya membantah kalau disebut ada menerima," ujarnya.

Nada suaranya agak tinggi, namun masih mengesankan sosok yang ramah.
Sesekali lelaki bertubuh tinggi 160 Cm itu tersenyum memperlihatkan gigi depannya yang berbaris rapi. Ia memperhatikan serius isi berita itu lagi seolah berusaha menjelaskan kalau berita di kliping koran berjudul "Sekali Proses Cambuk Butuh Uang Rp 8,7 Juta" itu keliru ditulis wartawan.

"Saya tidak tahu dari mana sumber data ini," ujarnya.

Lelaki itu adalah Osin Moh Muhsin SH M Hum, hakim di Pengadilan Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh. Selama menjadi hakim, Osin sempat menangani beberapa perkara pelanggaran qanun jinayat. Terakhir ia mengadili dua sejoli yang berstatus mahasiswa. Keduanya didakwa pasal khalwat (mesum) karena melanggar Qanun Nomor 14/2003. Oleh Majelis Hakim keduanya divonis masing-masing lima kali cambuk.

"Tapi sampai sekarang, eksekusi belum juga dilakukan jaksa. Padahal perkaranya sudah masuk sekitar Februari lalu. Waktu ditanya, kenapa tidak dilakukan, katanya ‘tidak ada anggaran’. Jadi sampai sekarang terdakwa bebas begitu saja," ujar Osin saat ditemui di ruang kerjanya Kantor Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh di kawasan Jl Moh Jam.

Selaku hakim yang mengadili perkara tersebut, ia merasa kecewa karena terdakwa tidak segera dieksekusi, padahal sudah ada keputusan inkrah dari pengadilan karena tidak mengajukan banding.

Namun Osin tidak terlalu mempersoalkan bebasnya terdakwa setelah divonis pengadilan karena tugas Mahkamah Syar'iyah hanya berwenang mengadili perkara yang masuk sampai menjatuhkan putusan apakah terdakwa bersalah atau tidak.

"Tapi Saya agak terganggu soal dana itu. Di rinciannya kan ada disebut untuk hakim sekian, jaksa sekian, padahal Saya tidak menerima itu. Mengadili terdakwa itu kan sudah menjadi tugas negara," ujar Osin yang kini menjabat Wakil Ketua Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh.

Kasus bebasnya terdakwa setelah dijatuhi vonis pengadilan menjadi potret lain dari penegakan hukum syariat Islam di Aceh. Kasus yang ditangani Osin bisa jadi bukan satu-satunya. Tapi masih banyak kasus serupa di kabupaten/kota yang tidak terungkap ke publik. Setelah divonis, terdakwa bebas berkeliaran dan bahkan ada yang melarikan diri dari jeratan cemeti saat akan dieksekusi cambuk.

                                                         *   *   *
Syariat Islam di Aceh mulai berlaku pada 2001 berdasarkan UU Nomor 18/2001 tentang Otonomi Khusus dan UU nomor 40/1999 tentang Keistimewaan Aceh meliputi agama, adat istiadat dan pendidikan. Sejalan dengan itu Pemerintah juga menerbitkan UU Kekuasaan Kehakiman Nomor 4/ 2004 yang memberi peluang dibentuknya Mahkamah Syar'iyah.
Sejak awal penerapannya hingga kini Pemerintah Aceh telah melahirkan empat peraturan daerah (Perda) yang terkodifikasi dalam empat qanun. Yaitu Qanun Nomor 11/ 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Akidah, Ibadah dan Syiar Islam, Qanun Nomor 12/2003 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya, Qanun Nomor 13/ 2003 tentang Maisir (perjudian) dan Qanun Nomor 14/ 2003 tentang Khalwat (mesum).


Penertiban warga tak berpakaian syariat
Keempat qanun ini menjadi landasan aparat penegak hukum melakukan pengawasan, penindakan, pemeriksaan hingga melimpahkan perkara ke Mahkamah Syar'iyah.

Menurut sanksi, para pelaku bisa dijatuhi hukuman cambuk untuk kategori pelanggaran berat yang dikuatkan dengan bukti dan putusan pengadilan. Misalkan kedapatan berkhalwat, berjudi atau minum minuman keras.

Namun tidak jarang kasus pelanggaran qanun bisa selesai di atas meja petugas setelah pelaku menandatangani surat pernyataan tidak mengulangi lagi kesalahan. Biasanya penyelesaian kasus di tempat ini, sering terjadi saat pelaku terjaring dalam razia penegakan Qanun Nomor 11/ 2002 oleh Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH).

Pemberlakuan empat qanun ini di satu sisi memberi efek positif terhadap tatanan kehidupan masyarakat Aceh. Namun di sisi lain, masih ditemukan kelemahan dalam pelaksanaannya. Terutama dalam Qanun Nomor 12, 13 dan 14, tidak mengatur soal tersangka yang melanggar qanun dapat ditahan. Ini pula yang dikatakan Osin sebagai kelemahan mendasar dari penegakan syariat Islam di Aceh. Ketiga qanun ini hanya berupa hukum materil dan belum dapat dijalankan maksimal tanpa ada hukum formil (hukum acara), yang jelas yang mengatur agar hukum materil itu dapat dijalankan sebagaimana mestinya

”Contohnya saja, sampai saat ini tidak ada aturan untuk menahan pelaku. Karenanya tersangka bisa bebas. Bukan tidak bisa, tapi tidak ada aturannya untuk menahan,” kata Osin.

Mahkamah Syar'iyah sesuai kewenangannya hanya mengadili dan memutuskan perkara yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap perkara pelanggaran qanun jinayat. Setelah terhukum dijatuhi vonis, maka tahap selanjutnya adalah menjadi kewenangan jaksa berkoordinasi dengan pihak Dinas Syariat Islam, Satpol PP dan WH, polisi dan tim medis menindaklanjuti putusan hakim.

Tapi dalam praktiknya, tidak semudah yang dibayangkan melaksanakan eksekusi cambuk bagi terdakwa yang sudah ada putusan inkrah. Seperti halnya yang perkara yang ditangani Osin saat menjadi hakim anggota terhadap sepasang terdakwa dalam perkara pelanggaran Qanun 14/ 2003 tentang Khalwat. Kedua mahasiswa ini dijatuhi hukuman masing-masing lima kali cambuk. Tapi sampai saat ini, jaksa tidak melakukan eksekusi karena alasan tidak ada biaya.

”Padahal terdakwa sudah sangat siap untuk dicambuk waktu itu,” ujar pria asal Bandung ini.

Kasus gagalnya eksekusi terhadap terdakwa bukan kali ini saja. Pada 2011 lalu, Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh gagal menjatuhkan vonis kepada para terdakwa dalam dua perkara lainnya. Saat jaksa penuntut umum hendak menghadirkan terdakwa ke persidangan, belakangan diketahui sudah melarikan diri.

“Perkaranya otomatis dihentikan karena tidak ada orang yang mau diadili,” kata Osin.
Pada Pasal 25 Qanun Nomor 12/ 2003 pada poin c. disebutkan penuntut umum sebetulnya mempunyai kewenangan memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau mengubah status tahanan setelah perkara dilimpahkan penyidik.

Namun perintah penahanan ini tidak dapat dilakukan jaksa atau hakim Mahkamah Syar'iyah, karena menurut ketentuan KUHP Pasal 20 ayat 4 huruf a dan b disebutkan
“Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal; a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih dan seterusnya.”

“Sedangkan dalam ketentuan uqubat pada Pasal 26 Qanun 12/2003 disebutkan setiap orang yang melanggar Pasal 5 (minum minuman keras atau khamar) dihukum dengan ancaman uqubad hudud 40 kali cambuk. Jadi ketentuan penahanan tidak bisa dilakukan kepada tersangka, karena bertentangan dengan KUHP,” kata Kasie Intel Kejaksaan Negeri Banda Aceh A Kahar Muzakkir SH.

Dalam Pasal 19 Qanun Nomor 12/ 2003 mempertegas bahwa penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran dan sejenisnya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang tidak diatur dalam qanun.

“Karena itu kalau ada tersangka yang melarikan diri, jaksa tidak dapat melakukan apa-apa meskipun sudah dijatuhi vonis pengadilan. Jadi tindakan melarikan diri itulah hukumannya bagi pelaku sendiri. Dia menghukum dirinya sendiri,” ujar Kahar yang juga pernah menjadi jaksa penuntut umum dalam perkara pelanggaran qanun jinayat saat bertugas di Kejari Tapaktuan.

Menurut Kahar prinsip-prinsip keadilan bagi pelaku juga perlu menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan menahan atau tidak menahan
tersangka atas perintah jaksa.

Misalkan jika dalam proses hukum berjalan tersangka ditahan, maka akan ada rasa kemerdekaan, keadilan dan haknya yang terenggut. Sementara hukuman penahanan yang dijalani tidak sebanding dengan ancaman uqubat cambuk.

“Keadilan bagi pelaku dan hak-haknya sebagai manusia juga harus menjadi pertimbangan. Tidak boleh dirampas. KUHP menjunjung tinggi HAM seseorang,” ujarnya.

                                                                               *  *  *

Dari sudut pandang penerapannya, Kahar menilai ketiga qanun ini masih lemah dan abstrak. Bahkan dari sisi pelaksanaan eksekusi cambuk, jaksa juga kerap menemukan kendala tidak dapat melakukan segera. Padahal pada Pasal 27 Qanun Nomor 14 / 2003 tentang Khalwat (mesum) pelaksanaan uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap.

Namun tampaknya instansi terkait seperti Dinas Syariat Islam dan Satpol PP dan WH tidak siap dengan perintah qanun sehingga eksekusi ada yang tidak segera dilakukan setelah terdakwa divonis.

“Dinas Syariat Islam tidak siap dengan perintah qanun ini. Memang ada biaya yang harus dikeluarkan untuk proses hukuman dilakukan. Karena prosedurnya sudah diatur dalam Pergub,” ujar Kahar.

Ketidaksiapan Dinas Syariat Islam dan Satpol PP dan WH dalam mendukung anggaran bagi pelaksanaan cambuk kepada terdakwa, membuat jaksa pesimis.

”Akhirnya berkas putusan hakim hanya disimpan dalam lemari, tanpa ada tindak lanjut eksekusi terhadap terdakwa,” ujarnya.

Pengalaman itu diakui Kahar terjadi saat ia menjadi JPU di persidangan Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh untuk perkara sepasang pelaku mesum. Namun terhukum tidak bisa dicambuk karena tidak ada biaya.

Dalam Qanun Nomor 14/ 2003 pada ketentuan peralihan Pasal 33 dijelaskan hal-hal yang menyangkut dengan teknis pelaksanaan eksekusi cambuk memang diatur lebih jauh dengan Peraturan Gubernur (Pergub).

Keberadaan Pergub tentang teknis eksekusi cambuk ini menurut Kahar juga menjadi hambatan bagi jaksa karena banyak hal yang lebih detil diatur di dalamnya. Seperti penunjukan algojo sampai pengadaan panggung eksekusi. Di samping ada biaya lain yang harus dikeluarkan seperti untuk konsumsi, biaya keamanan untuk polisi, pembimbing rohani bagi terdakwa dan dokter.

Sementara dalam Pergub pada Pasal 16 disebutkan segala biaya akibat dikeluarkannya peraturan ini dibebankan kepada APBD Provinsi, APBK kabupaten/kota dan masing-masing instansi. (Lihat: Rincian Biaya Eksekusi Cambuk)

“Dokter yang dipakai jasanya saat eksekusi juga dibayar. Terpidana setelah dicambuk juga diberi uang saku, diberi makan dan sebagainya. Jadi memang dibutuhkan biaya untuk ini,” ujarnya.

Sepanjang anggaran tersebut tidak tersedia, maka otomatis proses eksekusi terdakwa tidak dapat dilakukan.

“Sebenarnya jaksa mau yang simpel saja. Tidak perlu ada seremonial segala. Kita hadirkan terdakwa di lapangan terbuka dengan jaksa sebagai pembaca salinan putusan hakim, langsung dieksekusi. Maunya jaksa seperti itu. Tapi semua proses ini diatur dalam Pergub. Ya, kita harus mengikuti prosedur itu,” ujarnya.

Kahar menyesalkan bila ada terdakwa yang sudah memiliki putusan inkrah dari pengadilan tidak dilakukan eksekusi hanya karena tidak ada biaya.

“Hal itu sama saja membebaskan kembali terdakwa dari hukuman karena memang jaksa tidak berhak untuk menahan. Jadi dibutuhkan sebuah komitmen pemerintah yang sinergi dalam proses ini. Terutama untuk menyediakan anggaran eksekusi. Tidak hanya bisa diserahkan kepada jaksa saja,” paparnya.
                                                                          Eksekusi kilat

Kepala Seksi Penyidikan dan Penindakan Satpol PP dan WH Provinsi Aceh Marzuki mengakui untuk tahun 2012 pihaknya hanya mengajukan anggaran Rp 2 juta per kasus dengan estimasi 12 kasus per tahun. Biaya tersebut hanya untuk mengawal proses kasus sampai jaksa menetapkannya menjadi P21 (lengkap).

Patroli jelang shalat
Ironisnya, untuk proses selanjutnya saat kasus dilimpahkan ke Mahkamah Syar'iyah hingga terdakwa divonis dan perintah eksekusi oleh hakim, Satpol PP dan WH Aceh tidak menyediakan anggaran. Karena itu Marzuki tidak heran bila banyak kasus di kabupaten/kota yang sudah ada putusan inkrah tidak dilakukan eksekusi.

Selain karena tidak ada dana, juga ada para terdakwa atau tersangka yang melarikan diri, karena jaksa tidak menahan.
Berdasarkan rekap data 2012 di seluruh Aceh, Satpol PP dan WH Aceh mencatat ada 10 perkara jinayat yang putus di tingkat pengadilan pertama. Namun tidak semuanya berakhir dengan eksekusi hukuman cambuk. Jumlah perkara yang diputus pengadilan ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan tingkat pelanggaran. Misalkan untuk kasus pelanggaran Qanun Nomor 12/2003 mencapai 45 kasus, pelanggaran Qanun Nomor 13/2003 (29 kasus), pelanggaran Qanun Nomor 14/2003 (490 kasus). Hanya sebagian kecil yang diproses di tingkat Mahkamah Syar'iyah.

”Karena memang ada kasus-kasus yang tidak harus diselesaikan sampai ke pengadilan. Ada juga yang diselesaikan secara adat dan pembinaan,” ujar Marzuki berkilah.

Bagai terjaga dari mimpi, baru pada tahun anggaran 2013 ini, Satpol PP dan WH Aceh mengusulkan biaya khusus untuk proses eksekusi hukuman kepada terdakwa. Biaya ini dialokasikan untuk membantu kabupaten/kota yang tidak ada anggaran untuk menjalankan hukuman cambuk, atau kehabisan dana karena banyak kasus yang harus dieksekusi.

“Estimasi yang kita ajukan ke DPRA satu bulan dua kasus. Jadi setahun ada 24 kasus dengan biaya satu kasus delapan juta rupiah. Penanganan kasus dengan anggaran delapan juta ini mulai dari pemeriksaan tersangka sampai terdakwa dieksekusi hukuman,” tegasnya.

Marzuki berpendapat sebetulnya tidak ada perkara yang sudah inkrah tidak dilanjutkan dengan eksekusi. Ketentuan Pergub tentang teknis pencambukan dinilainya tidak menjadi hambatan sejauh memenuhi unsur; adanya terdakwa, jaksa, algojo dan dokter.

”Ibarat kita mau buat kenduri pesta. Kalau mau yang mewah ya tentu harus dengan biaya besar. Tapi kalau ingin dilakukan sederhana tentu bisa lebih efisien. Jadi tidak mesti harus ada panggung,” katanya seolah menampik dalih jaksa yang tidak bisa melakukan eksekusi karena terhambat Pergub dan biaya.

Untuk mensiasati efisiensi anggaran, ada juga kabupaten/kota yang melakukan hukuman cambuk bersamaan. Jaksa tidak melakukan eksekusi segera setelah vonis dijatuhkan. Tapi menunggu ada vonis terhadap terdakwa lain. Sehingga proses eksekusi dilakukan sekaligus dengan beberapa terdakwa lainnya. Cara ini dianggap bisa menghemat anggaran.

Tapi risikonya, tidak ada jaminan para terdakwa tidak melarikan diri karena memang jaksa tidak berhak menahan.

Ada juga cara lain, yakni sistem pengadilan kilat. Biasanya sidang terhadap terdakwa dilakukan dua hari, Kamis dan Jumat. Pada hari terakhir sidang saat hakim telah membacakan vonis, terdakwa tidak dibolehkan pulang. Terdakwa diberikan makan, dan ditempatkan dalam kamar untuk menunggu eksekusi dilakukan setelah shalat Jumat.

“Secara aturan bisa dikatakan tidak melanggar, karena memang kita tidak menahan terdakwa. Hanya saja, strategis ini kita terapkan agar proses eksekusi bisa dilakukan secepatnya dan terdakwa tidak lari,”ujar Marzuki.

Akan tetapi, katanya, tidak semua kasus pelaku pelanggaran qanun harus dilimpahkan ke pengadilan atau dikeluarkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP). Banyak di antara pelaku hanya mendapat pembinaan oleh petugas.

                                                                           *  *  *

Pakar Hukum Universitas Syiah Kuala Mawardi Ismail SH M Hum berpendapat penanganan perkara jinayat yang sudah divonis lalu terdakwanya tidak dieksekusi menggambarkan satu kondisi tidak adanya kepastian hukum dalam penegakan syariat Islam di Aceh.

“Kondisi ini tidak boleh dibiarkan karena akan menjatuhkan wibawa penegak hukum. Sebuah aturan dibuat untuk menjamin adanya kepastian hukum, bukan sebaliknya,” tegas Mawardi.

Hal yang lebih ironis, aparat penegak hukum juga dinilai telah merugikan dan merampas hak terdakwa dengan penundaan hukuman.
Terdakwa merasa perkaranya digantung, dan menghambat proses rehabilitasi dirinya untuk kembali ke masyarakat.

”Setiap orang memerlukan kepastian hukum. Bila mereka sudah menjalani hukuman atas kesalahan yang diperbuat, maka rasanya akan lebih lega dan tidak dibayangi rasa bersalah lagi,” katanya.

Mawardi mengakui empat qanun syariat Islam yang saat ini berlaku di Aceh masih perlu disempurnakan. Dalam pelaksanaannya dinilai ada celah dan kekosongan aturan yang berujung pada tidak adanya kepastian hukum. Termasuk soal ketentuan pelaku tidak bisa ditahan dan persoalan tidak ada alokasi anggaran untuk eksekusi putusan hakim.

Dia menyebutkan, setidaknya upaya penegakan hukum harus didukung prasarana dan sarana yang memadai, sumberdaya manusia, termasuk biaya.

Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh mengakui tidak menyediakan alokasi anggaran untuk proses eksekusi hukuman bagi terdakwa.

”Tugas kami hanya pencegahan dan melakukan pembinaan. Soal itu (anggaran untuk biaya eksekusi perkara) boleh ditanya langsung ke Satpol PP dan WH,” kata Kepala Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh Mairul Hazami.

Menurutnya, sampai tahun 2012 pihaknya masih berkonsentrasi pada penegakan Qanun Nomor 11/ 2002. Sedangkan tiga qanun lainnya, masih belum menjadi prioritas. Karena dalam pelaksanaannya lebih dititik beratkan kepada instansi Satpol PP dan WH yang bertugas melakukan pengawasan.

“Suatu saat nanti Saya berharap status WH bisa ditingkatkan menjadi polisi syariat. Kalau polisi syariat wewenangnya lebih besar. Bisa menangkap, menahan, memeriksa, dan membuat BAP terhadap pelaku. Kalau sekarang WH hanya sebagai pengawas. Jadi kewenangannya sangat terbatas,” ujarnya.

Setali dua uang dengan Dinas Syariat Islam Provinsi. Plt Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Muhammad Nass hanya bisa ’pasrah’ melihat nasib keempat qanun yang kini diterapkan di Aceh.

Satu-satunya jalan yang saat ini ditempuh Pemerintah Aceh adalah dengan merevisi keempat qanun tersebut agar keberadaannya mempunyai kekuatan hukum yang lebih tegas, luas dan berwibawa.

Upaya revisi ini telah dilakukan Pemerintah Aceh dengan mengajukan Rancangan Qanun Hukum Jinayah dan Hukum Acara Jinayah, dan telah disahkan menjadi qanun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) 14 September 2009. Namun sayangnya Qanun Hukum Jinayah dan Hukum Acara Jinayah yang diharapkan menjadi hukum positif ini kembali mental karena Gubernur Irwandi Yusuf ketika itu menolak menandatangani.

”Sekarang harapan kita DPRA kembali dapat membahas Qanun ini untuk kesempurnaan empat qanun sebelumnya yang sudah diterapkan di Aceh,” ujar Plt Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Muhammad Nas. Sampai kapankah kepastian hukum syariat Islam tegak di Aceh? (*)

Editor's Choice

Tidak ada komentar:



Ansaridaily TV




Update Terkini


    Beranda