Jejak Perjuangan Deklarator GAM Tgk Hasan Tiro, Bendera Hingga Karim yang Misteri - ansaridaily

Mobile Menu

Top Ads

Berita Terbaru

logoblog

Jejak Perjuangan Deklarator GAM Tgk Hasan Tiro, Bendera Hingga Karim yang Misteri

10/08/2024
Tgk Hasan Muhammad Ditiro

"SAYA akan merasa gagal jika tidak mampu mewujudkan hal ini, harta dan kekuasaan bukanlah tujuan hidup saya dan bukan pula tujuan perjuangan ini. Saya hanya ingin rakyat Aceh makmur sejahtera dan bisa mengatur dirinya sendiri.”


Kutipan itu tertuang dalam buku Tgk Hasan Muhammad Ditiro berjudul, "The Price of Freedom: The Unifinished of Diary (1981) halaman 140.


Buku setebal 226 halaman itu merupakan cacatan hariannya ketika ia berperang di hutan Aceh pada 1976-1979.


Di buku itulah ia menukilkan kepulangannya kembali ke Aceh pada 1976, setelah 25 tahun tinggal di Amerika Serikat.


Kiprah Tgk Hasan Tiro di tubuh organisasi GAM semasa hidupnya menjadi inspirasi dan simbol semangat perjuangan pengikut setianya yang bergerilya di hutan-hutan Aceh hampir 30 tahun lamanya.


Bendera Aceh Bulan Bintang


Bendera Bulan Bintang diciptakan sebagai simbol perjuangan GAM. Pada masa pemerintahan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf tahun 2013 resmi menetapkan bendera Gerakan Aceh Merdeka tersebut sebagai bendera resmi Propinsi Aceh. Penetapan ini dituangkan dalam Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013.


Disebutkan Bendera Aceh berbentuk segi empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 dari panjang, 2 buah garis lurus putih di bagian atas, 2 buah garis lurus putih di bagian bawah, 1 garis hitam di bagian atas, 1 garis hitam di bagian bawah.


Pada bagian tengah bendera terdapat gambar bulan bintang dengan warna dasar merah, putih, dan hitam.


Garis hitam bermakna untuk mengenang jasa para syuhada yang telah syahid dalam perjuangan.


Garis putih bermakna kesucian perjuangan atau perang di jalan Allah (prang sabi).


Lambang bintang bulan bermakna Islam sebagai hukum tertinggi mengatur tatanan pemerintah.


Sedangkan latar belakang bendera berwarna merah adalah simbol darah para syuhada dalam memperjuangkan dan mempertahankan agama Islam dan tanah air Aceh.


Bendera bintang bulan ini juga disebut sebagai Pusaka Nanggroe.


Sampai sejauh ini tidak diketahui kapan awal mulanya bendera ini gunakan dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah.


Namun sejak Tgk Hasan Muhammad Ditiro mendeklarasikan GAM pada 3 Desember 1976, bendera ini sudah digunakan.


Saat upacara memperingati Milad GAM, bendera ini dikibarkan diiringi dengan suara azan.


Meski Wali Nanggroe Tgk Hasan Muhammad Ditiro telah tiada, namun suara aslinya masih dapat didengar hingga sekarang.


Rekaman suara dan jejak perjuangan Hasan Tiro menanamkan ideologi GAM kepada pengikutnya ini direkam sekitar tahun 70-80 an ini beredar luas di internet, khususnya di channel youtube.


Rekaman suara tersebut juga menjadi salah satu bukti otentik bahwa selain menjadi ideolog, Hasan Tiro juga menjadi guru spritual dan sejarah bagi pengikut setianya. 


Teungku Hasan Tiro adalah sosok yang brilian, dan ahli sejarah Aceh. Pengetahuan sejarahnya yang mumpuni dan mendalam itu mendorongnya memberontak dan mendirikan Negara Aceh Merdeka.


Semua ide perjuangan di medan gerilya dan diplomatik ia tuangkan dalam beberapa buku dengan harapan ide kemerdekaan Aceh membumi dan diketahui dunia.


Adapun buku-buku yang ditulis Hasan Tiro, yaitu Acheh in World History (Atjeh Bak Mata Donja) diterbitkan New York pada 1968.


One-Hundred Years Anniversary of the Battle of Bandar Acheh (Sireutoih Thon Mideuen Prang Bandar Atjeh), New York, 1973.


The Political Future of the Malay Archipelago (Masa Ukeue Politek Donja Meulaju), New York, 1965.


The Struggle for Free Acheh (Perdjuangan Atjeh Meurdehka), 1976.


Semua buku tersebut sangat efektif membuka mata dunia tentang kedaulatan dan kemerdekaan Aceh.


Di mata Hasan Tiro, Aceh tidak pernah menyerah kepada penjajah Belanda.


Ketekunan menulis di medan gerilya juga dibuktikan Hasan Tiro saat menulis naskah drama, "The Drama of Achehness History”.


Hasan Tiro mengetik naskah itu sepanjang hari dari pukul 07.00 pagi sampai 18.00 WIB sore.


“Kadang-kadang ketika Teungku mengetik, seorang pengawal dari balai penjagaan mesti mendatanganinya untuk menyuruh Tengku berhenti mengetik karena penjaga melihat pasukan musuh yang lewat dekat mereka,” kata mantan Menteri Pendidikan Negara Aceh Sumatera, Dr Husaini M Hasan MD dalam bab pendahuluan naskah tersebut.

 

Sejatinya Tgk Hasan Muhammad Ditiro adalah sosok yang diangkat rakyat Aceh sebagai Wali Nanggroe.


Namun cita-cita itu terputus di tengah jalan menyusul deklarator GAM itu menghadap Sang Khalik pada 3 Juni 2010 dalam usia 84 tahun.


Saat itu Tgk Hasan Tiro meninggal di Aceh, tanah kelahirannya setelah 30 tahun mengasingkan diri dan menetap di Stokchlom, Swedia.


Sebelum ia mangkat Pemerintah Indonesia memberinya status Warga Negara Indonesia kehormatan. Status Wali Nanggroe saat ini dijabat Tgk Malik Mahmud Al Haytar, rekan seperjuangan Hasan Tiro.


Lembaga Wali Nanggroe juga menjadi salah satu simbol kekhususan Aceh, dan poin penting yang disepakati dalam perjanjian damai antara Pemerintah RI dan GAM di Helsinki 15 Agustus 2005.


Dengan adanya Lembaga Wali Nanggroe ini, Pemerintah Aceh turut membangun sebuah 'istana' megah di Jalan Soekarno-Hatta, Aceh Besar sebagai kantor menjalankan fungsi dan tugas-tugasnya di pemerintahan.


Bersamaan dengan itu, di Aceh juga dibentuk Partai Politik Lokal sebagai jalur perjuangan politik rakyat Aceh di parlemen.


Dalam bukunya, The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro disebutkan meski pun berada dalam pengintaian Pemerintah Indonesia, selama di Amerika, Hasan Tiro merasa dirinya sukses besar dalam dunia bisnis.


Ia masuk ke jaringan bisnis besar dan berhasil menembus lingkaran pemerintahan di banyak negara, seperti di AS, Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan, kecuali Indonesia.


Ia menghindari berhubungan dengan Indonesia. Dari hasil keuletannya itu, Hasan Tiro memiliki relasi bisnis dekat dengan 50 pengusaha ternama AS.


Perusahaan-perusahaan mereka bergerak dalam bidang petrokimia, pengapalan, konstruksi, penerbangan, manufaktur, dan industri pengolahan makanan.


Hasan Tiro punya hubungan kerja sama dengan beberapa perusahaan itu.


Sebagai seorang konsultan, dia banyak memimpin delegasi-delegasi pengusaha AS untuk bernegosiasi dalam transaksi bisnis besar di Timur Tengah, Eropa, dan Asia.


Salah satu kunjungan adalah tahun 1973. Hasan Tiro melawat ke Riyadh dan disambut Raja Faisal.


Ada dua hadiah yang dipersembahkan Hasan Tiro kepada Raja Arab Saudi itu.


Satu potret Raja Faisal berlatar belakang industri Arab Saudi.


Dan, satu lagi adalah album koleksi perangko bergambar Al- Malik Tengku Tjhik di Tiro.


Ini diberikan untuk mengingatkan Raja Faisal akan kepahlawanan Aceh, sekaligus kakek buyut yang dikaguminya.


Meskipun Hasan Tiro datang sebagai ketua konsorsium pengusaha Amerika, dia masih tetap seorang Aceh, bukan warga Indonesia.


Rekan-rekan bisnisnya tidak tahu apa yang ada dalam benak Tgk Hasan Tiro yang tinggal di pengasingan.


Terutama tentang ambisinya mewujudkan kemerdekaan Aceh Sumatera.


Ia tidak pernah meminta simpati, nasihat, dan dukungan mereka.


Karenanya, nama dan perusahaan para pengusaha AS itu tidak disebutkan Hasan Tiro dalam buku hariannya yang belum selesai tersebut.


Bukanlah seorang Hasan Tiro bila tidak disiplin dalam berpenampilan.


Penampilan bagi Hasan Tiro menujukkan identitas siapa lawan bicaranya.


Ia akan sangat senang apabila tamu yang datang berpenampilan rapi, bahkan ia lebih suka si tamu memakai jas.


Fakta ini sempat dialami sejumlah wartawan yang meliput kepulangan Hasan Tiro ke Aceh untuk pertama kali setelah 30 tahun hidup di pengasingan pada 2008 silam.


Semua wartawan yang akan menemuinya harus berpenampilan rapi, terkadang harus mengenakan jas hanya untuk menemui sang proklamator GAM itu. Konon, Hasan Tiro enggan mau menerima tamunya bila tidak berpakaian rapi.


Di usianya yang sudah renta, Hasan Tiro masih tetap menjaga penampilannya. Ia selalu mengenakan jas dan sepatu pantofel.


Sosok seorang diplomat dengan pemikiran yang cerdas juga masih terpancar dari sorot matanya yang tajam.


Meninggalkan Anak Semata Wayang Demi Perjuangan 


Karim sangat berkesan bagi Hasan Tiro. Kemana pun dia pergi, Karim selalu dibawa.



Karim, ayah dan de Zaini Abdullah

Karim mendapat tempat istimewa dalam The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan Di Tiro yang ia tulis semasa berada di medan gerilya.


Bahkan, ketika Hasan Tiro sudah berada di Aceh, salah satu kamp di hutan dinamakan sebagai Karim.


Bocah Karim telah menunjukkan watak tertentu saat berusia empat dan lima tahun.


Ceritanya, ketika Karim dibawa ke sebuah toko permen, segerombolan anak-anak mencoba mencuri permen.


Penjaga toko tidak mengetahuinya. Hasan Tiro yang sedang melihat-lihat beragam permen berpikir untuk melakukan sesuatu.


Tapi belum sempat ia berpikir, telah ada bunyi peluit. Gerombolan itu pun lari pontang-panting. Saat menoleh ke arah bunyi tersebut, ia melihat Karim dengan sebuah peluit di tangannya.


Wanita tua penjaga toko itu pun berterima kasih pada Karim.


Di lain kesempatan, cerita Hasan Tiro dalam buku The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan Di Tiro, Karim diajaknya ke masjid untuk shalat Jumat.


Karim selalu menjadi pandangan orang dan bahkan dipeluk para diplomat yang shalat di gedung PBB, New York.


Diajaknya Karim shalat di tempat itu, untuk membuat dia mengerti akan perintah agama.


Suatu ketika, Hasan Tiro sedang berjalan-jalan dengan Karim di Fifth Avenue, New York.


Banyak orang yang mendekati bocah itu untuk sekedar berbicara atau memegang pipinya.


Bila berjalan-jalan bersama Karim, Hasan Tiro merasa dirinya seperti mendampingi orang penting. Karena putranya selalu menjadi perhatian para pejalan kaki lain.


Di lain hari, Karim ditinggalkan ayahnya di lobi Hotel Plaza.


Hasan Tiro pergi sebentar untuk menelepon seseorang.


Belum selesai menelepon, ia melihat senator Eugene McCarthy, yang kemudian menjadi seorang calon Presiden AS, berbicara dengan Karim.


Senator itu kemudian menghampiri Hasan Tiro untuk memberi pujian kepada Karim.


"Saya harus menghampiri dan berjabat tangan dengan putra Anda, sebab ia terlihat tampan sekali!" kata senator itu.


Mengenang itu semua, Hasan Tiro galau dalam perjalanan pulang ke Aceh memimpin gerilya dalam upaya memproklamirkan Negera Aceh Merdeka.


Tepat 30 Oktober 1976, Hasan Tiro berhasil menyusup ke Aceh dengan sebuah kapal motor kecil.


Ia mendarat dengan selamat di Pasi Lhok, Kembang Tanjong, Pidie. Hasan Tiro meninggalkan segala kemewahaan di New York, Amerika Serikat kemudian memimpin gerilya di Aceh.


Termasuk, Karim kecil dan istrinya Dora, ia tinggalkan di Amerika Serikat.


Sampai saat ini tidak banyak informasi yang terungkap tentang keberadaan Karim di Tiro, anak satu satunya pewaris Hasan Tiro dari perkawinannya dengan Dora, warga Amerika Serikat keturunan Yahudi yang memeluk Islam. Sesuatu yang misteri.


Bagi Hasan Tiro, kelahiran Karim mendapat tempat istimewa di hatinya. Bahkan naskah berjudul drama “The Drama of Achehness History” ia dedikasikan untuk putranya, Karim.


Beberapa informasi menyebutkan Karim di Tiro kini menetap di New York, Amerika Serikat.


Ia telah menjadi seorang akademisi, asisten professor dan mendalami sejarah Amerika.


Sampai akhir hayat ayahnya, Karim tidak pernah muncul ke publik. Kala itu banyak orang di Aceh menunggu kepulangannya. Tapi itu tidak pernah terjadi.


Di Akhir Perjuangan, Hasan Tiro Kembali ke Pangkuan Tanah Kelahirannya Aceh


Seperti sudah mendapat panggilan hati, Hasan Tiro akhirnya kembali ke Aceh, tanah kelahirannya setelah 30 tahun hidup terasing di Swedia.


Hasan Tiro pulang ke Aceh pada 11 Oktober 2008 ternyata menjadi akhir dari perjuangannya di organisasi GAM.


Pada 2 Juni 2010 Hasan Tiro meninggal setelah 13 hari dirawat di RSUZA.


Sehari sebelum ia menutup mata untuk terakhir kalinya, Pemerintah Indonesia resmi memulihkan status WNI Hasan Tiro.


Surat itu disampaikan Menkopolhukkam Djoko Suyanto kepada perwakilan mantan petinggi GAM, Malik Mahmud dan kerabat dekat Tiro, di Banda Aceh.


Dalam surat itu disebutkan salah-satu pertimbangannya, yaitu alasan kemanusiaan, khusus dan politik.


Pertimbangan lainnya adalah nota kesepahaman damai antara Indonesia dan GAM.


Sebelumnya Hasan Tiro memegang kewarganegaraan Swedia sejak tahun 1979.[Ansari Hasyim]



Editor's Choice

Tidak ada komentar:



Ansaridaily TV




Update Terkini


    Beranda