Aceh Mimpi Uang Karbon - ansaridaily

Mobile Menu

Top Ads

Berita Terbaru

logoblog

Aceh Mimpi Uang Karbon

11/30/2016
Foto/Google
Dengan potensi yang luar biasa, karbon Aceh diharap menjadi salah satu pemasukan negeri Tanah Rencong ini pada tahun-tahun mendatang. Apalagi mayoritas orang Aceh sudah telanjur mengubah paradigma: kalau dulu tebang pohon dapat uang, sekarang dengan tidak menebang pohon justru dapat uang. Namun, jika melihat keseriusan negara pemberi kompensasi dan pemerintah pusat, proyek karbon ini bisa jadi isapan jempol belaka. Serambi mengulas seluk-beluk penjualan karbon Aceh itu dalam laporan berikut.

ISU perdagangan karbon (carbon trade) santer berembus pada masa pemerintahan Gubernur Irwandi Yusuf. Banyak kalangan kala itu berpikir Aceh akan mendapat uang berlimpah dari hasil menjual karbon hutan Aceh yang tegakan pohonnya tak lagi dirambah. Pendapatan dari penjualan karbon ini diperkirakan mencapai triliunan rupiah, sebagai kompensasi atas hutan Aceh yang ikut andil menyumbang oksigen murni untuk penyehatan “paru-paru dunia” sekaligus menurunkan emisi karbon (C02) yang dihasilkan negara-negara industri.

Perdagangan karbon adalah mekanisme pendanaan yang diberikan oleh negara-negara maju kepada negara yang melestarikan hutannya atau negara yang memberikan jasa lingkungan dengan menjaga hutannya melalui sebuah mekanisme yang telah diatur.

“Uang itu nantinya akan dipergunakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat Ulue Masen,” ujar Gubernur Irwandi Yusuf kepada media, 9 Januari 2010.
Pernyataan tersebut dikatakan Irwandi saat itu terkait rencana Pemerintah Aceh menandatangani transaksi perdagangan karbon dengan Berlin, Jerman, pada Juni 2010. Dalam perjanjian itu, karbon hutan Aceh dibanderol seharga 4 USD (dolar Amerika Serikat) per ton. Transaksi itu mengikat perjanjian yakni, apabila pembeli kembali menjual dengan harga 7-8 USD, maka keuntungan harus dibagi dua dengan Aceh.

Tapi di ujung masa jabatan Irwandi isu perdagangan karbon kemudian tenggelam. Pemerintah pusat kemudian mengambil alih dan menjadi regulator. Tidak boleh lagi Aceh menjajakan karbonnya sendiri ke pasar-pasar di luar negeri. Semuanya harus melalui Badan Pengelola REDD+, sebuah lembaga yang dibentuk semasa Presiden SBY, tapi pekan lalu telah dibubarkan oleh Presiden Jokowi.

Pada akhir 2014, Pemerintah Aceh menjajaki kembali skema perdagangan karbon hutan Aceh dengan membuat kesepakatan (MoU) baru yang dikemas dalam program Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestrasi, Degradasi Hutan, dan Lahan Gambut (REDD+). Proyek ini melibatkan Pemerintah Aceh, Badan Pengelola REDD+, dan Pemerintah Norwegia sebagai pihak yang memberi kompensasi atas karbon dari hutan Aceh.

“Norwegia menjanjikan membantu 1 miliar US dolar atau Rp 12,5 triliun sebagai kompensasi oksigen yang dikeluarkan hutan Aceh dan hutan lain yang ada di Indonesia,” ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur kepada Serambi di Banda Aceh, Jumat (23/1) lalu, menanggapi kerja sama itu.

Aceh merupakan provinsi ke-8 yang menandatangani nota kesepahaman (MoU) bersama BP REDD+, di samping Kalimantan Tengah, Riau, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Jambi, dan Sumatera Selatan. Seluruhnya ada sebelas provinsi di Indonesia.

Foto/Google
Jauh sebelumnya, Norwegia telah mengucurkan beberapa juta dolar dana persiapan, termasuk untuk Aceh. Penandatanganan MoU sendiri baru dilakukan pada November 2014 yang diteken oleh gubernur pengganti Irwandi, yakni dr H Zaini Abdullah dan Kepala BP REDD+ Heru Prasetyo. Seremonial ini disaksikan oleh Wakil Duta Besar Norwegia untuk Indonesia, Per Cristiansen di Pendapa Gubernur Aceh.

Jauh sebelum itu, pada 2011 kerja sama serupa juga sempat diinisiasi Jerman dalam Program Kfw. Negara industri itu membantu Pemerintah Indonesia dan Aceh sebesar 8,7 juta Euro.

Menurut data Walhi Aceh, uang kompensasi sebesar 850.000 Euro digunakan untuk UPT Pusat, 3,9 juta Euro untuk konsultan, dan 3,4 juta Euro untuk Pemerintah Aceh. “Total dari bantuan tersebut dipotong 10 persen untuk kegiatan pendampingan,” sebut M Nur.

Menurut aktivis lingkungan Aceh, Dewa Gumay, pembeli karbon adalah pemilik industri yang menghasilkan CO2 (gas buangan) ke atmosfer dan memiliki ketertarikan atau diwajibkan oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi yang mereka keluarkan melalui mekanisme karbon.

Sedangkan penjual adalah pemilik yang mengelola hutan atau lahan pertanian. Mereka bisa menjual karbonnya berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung dalam pepohonan di hutan yang dikelola. Atau bisa juga pengelola industri yang mengurangi emisi karbon dengan menjualnya kepada emitor.
Di Indonesia, Aceh dan Papua merupakan dua wilayah yang dikategorikan sebagai kawasan dengan tutupan hutannya yang relatif baik, dengan menyimpan kandungan karbon dalam jumlah besar.

Kandungan karbon yang tersimpan dalam hutan Aceh ini memiliki andil menyerap udara kotor atau emisi karbondioksida (Co2) yang dibuang atau dilepaskan negara industri yang dianggap sebagai biang kerok terjadinya pemanasan global dan efek gas rumah kaca.

Proyek perdagangan karbon sebetulnya bukan hal yang baru. Menurut Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Ir Husaini Syamaun MM, gagasan perdagangan karbon hutan Aceh intens dibahas perwakilan gubernur sedunia yang tergabung dalam Forum Climate and Forrest (GCF) yang  pada 17 Mei 2010 lalu diselenggarakan di Banda Aceh.

“Khusus untuk perdagangan karbon, itu masih dalam wacana, jadi belum ada yang dijual. Baru sebatas membahas. Misalkan kalau nanti ada karbonnya bagaimana makanisme menjualnya dan seperti apa penggunaannya. Tentu kita menginginkan masyarakat sekitar hutan adalah pihak yang lebih besar merasakan dampak dari penjualan karbon dari hutan Aceh ini,” katanya kepada Serambi, Selasa (27/1).
                         
Terinspirasi progress masa lalu, baru-baru ini Pemerintah Aceh  kembali menjajaki misi yang sama dalam skema perdagangan karbon yang dikemas dalam program REDD+. Proyek ini melibatkan BP REDD+ dan  Tim Task Force REDD+ Aceh. Namun, Walhi Aceh memandang pesimis kerja sama tersebut.

Muhammad Nur menilai, nota kesepahaman yang diteken antara Pemerintah Aceh dan BP REDD+ bersama Pemerintah Norwegia pada November 2014 serta Jerman pada 2011, tidak lebih dari upaya para pihak untuk melegalkan perdagangan karbon Aceh dengan mengatasnamakan perbaikan lingkungan.

“MoU yang ditandatangani Pemerintah Aceh itu tidak lebih dari sebuah perjanjian semu karena skema pendanaan kegiatan yang dijanjikan bersifat kredit, artinya pemerintah bekerja dulu, setelah itu baru diambil uangnya,” ujar M Nur.

Menurut M Nur, pasca-MoU tersebut, Gubernur Zaini juga membentuk Tim Task Force REDD+ Aceh yang bertugas mengeksekusi 12 agenda kerja prioritas sebagai rencana aksi Pemerintah Aceh dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Provinsi. Tapi ia memandang, tim task force yang dibentuk Pemerintah Aceh itu tidak memiliki peran signifikan, bahkan cenderung menghabiskan angggaran.

Menurut M Nur, kegiatan Tim Task Force REDD+ Aceh ini tidak didukung dengan dana yang jelas dan bisa membebani anggaran daerah. Sementara pendanaan yang dijanjikan Norwegia melalui BP REDD+ tak pernah diberikan untuk Aceh. Jadi, sebenarnya ini bisa disebut perjanjian semu yang membodohi Pemerintah Aceh. Aceh seperti dibuai mimpi uang karbon yang faktanya memang belum riil.

Malah yang lebih rancu lagi, Presiden Jokowi justru membubarkan BP-REDD+ melalui Perpres 16 Tahun 2015. Pembubaran ini diumumkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Rabu (28/1) lalu.

Di sisi lain, dengan pemberlakuan kawasan hutan masuk dalam program REDD, otomatis menutup akses masyarakat sekitar hutan untuk mengambil manfaat dari hutan berdasarkan hukum adat dan kearifan tradisional yang mereka warisi secara turun-temurun. Nah!(*)



Editor's Choice

Tidak ada komentar:



Ansaridaily TV




Update Terkini


    Beranda