Kereta api Aceh tempoe doloe |
PADA 26 Maret 1999, Presiden BJ Habibie berpidato di hadapan ribuan masyarakat Aceh di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Ia meminta maaf kepada seluruh rakyat Aceh atas berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi selama penerapan daerah operasi militer (DOM) sejak 1989-1998.
Di masjid kebanggaan rakyat Aceh itu pula, Presiden Habibie memberi sembilan janji politik kepada rakyat Aceh sebagai kerangka penyelesaian konflik Aceh secara menyeluruh. Satu di antara janji Habibie itu adalah pemerintah akan menghidupkan kembali jaringan kereta api di Aceh.
“Inilah awal mula grand design jaringan perkeretapian Aceh digagas, sebagai janji pemerintah kepada rakyat Aceh waktu itu,” kata Dahlan Sulaiman, pelaku dunia usaha kepada Serambi, awal September lalu.
Pada 2002, pemerintah mewujudkan janji itu dengan membuat Rencana Umum Pengembangan Kereta Api Sumatera yang merupakan hasil kesepakatan gubernur se-Sumatera. Sejak saat itu proyek kereta api di Aceh dimulai.
Pada 2014, pemerintah menggelontorkan anggaran Rp 90 miliar. Sekitar Rp 36 miliar di antaranya digunakan untuk biaya pembebasan tanah pembangunan jalur kereta api baru, dimulai dari arah Paloh Batee-Lhokseumawe maupun Krueng Mane-Kutablang sepanjang 11,3 km.
Pada 1 Desember 2013, Kereta Api Aceh resmi diuji coba untuk jalur pendek, Krueng Geukueh-Krueng Mane. Kereta api jenis commuter dengan dua gerbong berkapasitas penumpang 440 orang ini menempuh rute Krueng Mane-Krueng Geukuh sepanjang 11,3 km.
Seperti mendapat ‘mainan baru’ masyarakat larut dalam euforia ingin merasakan sensasi naik kereta api yang memang masih menjadi alat transportasi langka di Aceh.
Namun, tak bertahan lama, PT KAI Divisi Regional Sumatera Utara dan Aceh pada pertengahan Agustus 2014, mengumumkan penghentian uji coba kereta api Aceh dengan rute Krueng Mane-Krueng Geukueh, Aceh Utara.
PT KAI beralasan penghentian itu dikarenakan faktor keamanan setelah beberapa kali terjadi kecelakaan.
“Bila kereta api terus dioperasikan, kita takut kejadian yang sama akan terjadi lagi. Sebab, jalur yang dilalui kereta memang sering dilintasi warga, sementara palang pintu belum berfungsi,” kata Manajer Humas PT KAI Divre Sumatera Utara dan Aceh, Jaka Jakarsih kepada Serambi bulan lalu.
Setelah berhenti beroperasi, KA berkapasitas 440 penumpang itu saat ini masuk “kandang” di Stasiun Bungkah, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara.
Krueng Mane-Krueng Geukuh sepanjang 11,3 km |
Ia kini menjadi barang tontonan semata bagi anak-anak yang ingin mengenal kereta api atau yang ingin kembali naik kereta.
Gagasan pembangunan kereta api Aceh ditengarai salah satu proyek setengah hati pemerintah pusat. Proses pengerjaannya juga terkesan lambat dan berlarut-larut.
Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah sempat melontarkan kekesalannya atas lambannya pembangunan berbagai infrastruktur pendukung operasional kereta api di Aceh.
Selama kurun waktu 12 tahun, baru 11 km rel kereta terbangun di kawasan Aceh. Gubernur menginginkan pembangunan KA di Aceh dapat diselesaikan sesegera mungkin.
“Dalam kekhususan Aceh pasca-MoU Helsinki, pembangunan Aceh, termasuk kereta api harus berjalan secepat-cepatnya,” kata Gubernur Zaini awal Februari 2014.
Keinginan Gubernur Zaini agar KA Aceh cepat dibangun, tampaknya belum sejalan dengan rencana pemerintah pusat.
Pemerintah pusat mengeluarkan sinyal operasionalisasi KA Bireuen- Lhokseumawe (65 km) justru baru dapat berjalan pada 2017. Dalam konsep yang dibuat, untuk kawasan Sigli-Langsa (338 km) diperkirakan baru siap jalan pada 2021.
Sementara untuk Sigli-batas Sumut (490 km) baru bisa beroperasi tahun 2026. Target operasional KA Aceh yang ditetapkan pemerintah pusat itu dipandang bentuk ketidakseriusan pemerintah.
Namun, Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi, Informasi, dan Telematika (Dishubkomintel) Aceh Rizal Aswandi menampik tudingan itu.
“Dulu memang ada kesan seperti itu. Tapi setelah (kita) bertemu dengan Dirjen Perhubungan (kesan) itu sudah tidak ada lagi. Bahkan dulu juga ada rasa kecewa, karena anggaran yang dikucurkan cuma berkisar antara Rp 30-40 miliar. Tapi sekarang jumlahnya sudah mencapai Rp 400 miliar,” kata dia.
Menurut Rizal, KA Aceh baru dapat dioperasikan ‘sempurna’ pada 2030.
Pelaku dunia usaha Dahlan Sulaiman memandang keberadaan kereta sebagai model transportasi massal, untuk wilayah berpenduduk padat seperti Aceh Utara, Bireuen, Lhokseumawe, walaupun tidak terlalu mendesak, namun dianggap tidak ada salahnya.
Sebab, kata dia, proyek kereta api Aceh merupakan bagian dari aspirasi rakyat Aceh pada masa era reformasi di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie.
“Saat itu kita tidak berpikir panjang, apa yang ada dulu, kita minta kembali (sama seperti Freeport Sabang).
Seandainya kita tidak minta kereta api, tapi pelebaran jalan nasional, mungkin itu akan jauh lebih bermanfaat sekarang,” ujar Dahlan yang juga Ketua DPP Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Aceh.
Dahlan mengatakan, meskipun dalam proses pembangunannya lamban, namun di sisi lain pemerintah pusat sudah menunjukkan keseriusannya memenuhi janjinya kepada rakyat Aceh.
“Kalau hanya semacam boh meulisan bak rhueng, itu tidak mungkin. Sebab sudah ratusan miliar dana dikucurkan, sejak saya jadi ketua Kadin (proyek kereta api) sudah jalan. Saya katakan kereta api ini permintaan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat dan pemerintah pusat sudah memenuhinya,” ujar Dahlan.
Namun, kata Dahlan, proyek kereta api di Aceh diharapkan jangan sampai membebani keuangan daerah, karena biaya operasionalnya yang tinggi. Untuk itu, katanya, pemerintah harus meningkatkan biaya operasional dan membentuk badan khusus untuk mengelolanya.
“Ke depannya kalau Aceh ingin mengandalkan kereta api sebagai modal ekonomi, ini bukan tidak mungkin saya kira. Tapi harus dipikirkan secara matang, jangan sepotong-potong. Misalkan ada badan permanen yang mengelola,” ujarnya. [Ansari hasyim]
Editor's Choice
Tidak ada komentar:
Posting Komentar