8 September 2004.
Sepasukan TNI mengepung Alue Nireh, Aceh Timur.
Suara rentetan senjata menyalak.
Memecahkan keheningan.
Pasukan TNI terlibat kontak tembak dengan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Ishak Daud, Panglima GAM Wilayah Peureulak berada dalam kepungan.
Ia bersama istri Cut Rostina, dan tiga pengawal setianya menghadapi situasi sulit.
Kelimanya dikepung TNI saat tengah dalam perjalanan melalui hutan dari Tualang menuju Tapaktuan.
Siang itu mereka singgah di sebuah tempat untuk berwuduk karena sudah masuk waktu shalat dhuhur.
Rupanya keberadaan Ishak Daud, istri dan tiga pengawalnya sudah terendus aparat.
Tiba-tiba rombongan terperanjat.
Mereka dihujani peluru.
Kondisi terdesak.
Para pengawal meminta Ishak Daud untuk mundur.
Tapi Sang Panglima tidak menghiraukannya.
Ishak Daud memilih bertempur, dan bertahan di lokasi.
Ia membalas renteten peluru aparat.
Istrinya, Cut Rostina juga tak beranjak.
Wanita itu memilih tiarap di samping suaminya.
Di tengah pertempuran hebat itu, seorang pengawal Ishak Daud terkena tembakan.
Ishak Daud mencoba untuk mendekatnya.
Saat itulah sebutir peluru mengenai dahinya.
Ia tertembak.
Darah mengalir membasahi wajahnya.
Sang Panglima roboh.
Saat detik-detik terakhir itu, Cut Rostina masih mendampingi Ishak Daud.
Setelah pertemuran reda, belakangan ditemukan Cut Rostina juga ikut meninggal dengan luka tembak.
Termasuk dua pengawal Ishak Daud.
Saat itu Cut Rostina diketahui syahid dalam kondisi hamil.
Berita meninggalnya Ishak Daud cepat beredar di kalangan warga.
Media massa kemudian memberitakannya sebagai headline.
Ishak Daud meninggal dengan luka tembak di kepala dan dadanya.
Juga Cut Rostina, istri tercinta almarhum.
Drama pertempuran itu mengakhiri perjuangan Sang Panglima.
* * *
Seluruh gerilyawan GAM berduka. Empat hari kemudian GAM secara resmi mengumumkan syahidnya Ishak Daud.
Ishak Dauh dikenal sebagai Panglima GAM yang amat dihormati, dan disegani.
Setelah peristiwa itu, 14 prajurit TNI mendapat kenaikan pangkat luar biasa sebanyak satu tingkat.
Mereka berasal dari pasukan Yonif Raider 500 sebanyak 12 orang dan dua anggota Kopassus.
Di mata Nani Afrida, mantan jurnalis Tabloid Kontras (anak usaha Serambi Indonesia yang sudah tidak terbit lagi) sosok Ishak Daud adalah Panglima GAM yang tegas, berani, tapi ramah.
Pada Mei 2004, Nani Afrida bersama sejumlah jurnalis lainnya berhasil masuk ke markas GAM wilayah Pereulak Aceh Timur.
Ia sempat bertemu dengan Ishak Daud yang berencana akan membebaskan Fery Santoro, juru kamera RCTI yang sempat ditawan di markas GAM.
Saat itulah Nani terakhir kali bertemu dan berkomunikasi dengan Ishak Daud sebelum ia meninggal dalam pertempuran.
"Tidak ada pernah terbersit dalam pikiran saya bahwa itu adalah pertemuan terakhir saya dengannya. Bulan September 2004 atau 4 bulan setelah pertemuan saya terakhir, saya mendapat info kalau Teungku Ishak sudah tertembak dan meninggal bersama Istrinya Cut Rostina. Saya sempat tertegun dengan informasi itu. Karena ingatan saya pada beliau begitu kuat. Saya tidak menyangka Ishak Daud akan pergi secepat itu padahal beberapa bulan ke depan Aceh akan berdamai…" tulis Nani Afrida dalam catatan pribadi berjudul "Panglima Ishak Daud di Mata Saya".
Testimoni berseri itu dimuat di blog pribadinya "Catatan Kecil" pada 2013.
Sempat menjadi reporter untuk The Jakarta Post beberapa tahun, Nani Afrida, salah satu jurnalis perempuan Aceh, kini memilih berkarier di Kantor Berita Turki sebagai Chief Correspondent Anadolu Agency.
* * *
Anak nelayan di sarang gerilyawan
Hari ini, 8 September 2019, kepergian Panglima GAM wilayah Peureulak, Aceh Timur, Ishak Daud genap 15 tahun.
Seperti dilansir situs wikipedia, Ishak lahir di Desa Blang Glumpang Kuala Idie, Kecamatan Idie Rayeuk, Aceh Timur pada 12 Januari 1960.
Ia adalah anak pertama dari pasangan Muhammad Daud bin Tengku Basyah dan Nuriah.
Semasa kecil, Ishak tinggal di lingkungan desa yang rata-rata hidup di bawah garis kemiskinan.
Ayahnya bekerja sebagai nelayan, sedangkan ibunya berjualan kue.
Ishak Daud merasa tidak pernah puas dengan kondisi itu, pada awal tahun 1984, saat usianya 24 tahun, Ishak memutuskan merantau ke Malaysia.
Di negeri jiran itu, Ishak Daud bekerja serampangan, sebagai kuli bangunan atau penjaga restoran.
Karena tak tahan hidup seperti itu di Malaysia, Ishak Daud memutuskan merantau ke Singapura. Apalagi banyak orang Aceh di negeri situ.
Sama seperti di Malaysia, Ishak Daud juga bekerja serabutan, dari buruh bangunan hingga sopir angkutan.
Di Singapura pula Ishak Daud mulai mengenal Gerakan Aceh Merdeka, apalagi saat itu banyak aktivis Aceh Merdeka menggelar pertemuan politik.
Praktis, selama bekerja di Singapura Ishak sering mengikuti pertemuan tersebut. Ini pula yang membuka wawasannya tentang sejarah Aceh.
Pada Juni 1987, Ishak akhirnya disumpah oleh Tengku Abdullah Musa sebagai anggota GAM.
Apalagi Hasan Tiro yang mengendalikan GAM dari Swedia butuh pemuda Aceh untuk dididik pendidikan militer dan dikirim ke Libya.
Ishak Daud termasuk dalam rombongan 40 orang pemuda Aceh yang dikirim ke Libya. Sepulang dari Libya, dia singgah di Singapura selama 12 hari.
Ishak Daud pun memutuskan pulang ke Aceh melalui Pelabuhan Tanjung Balai.
Dari sana ia naik bus dan kembali ke kampung halamannya di Idi Rayeuk.
Awalnya dia bekerja sebagai pedagang Ikan dan diam-diam merekrut pemuda untuk terlibat GAM. Ishak termasuk tokoh pertama yang mengibarkan bendera Aceh Merdeka di SMA Idi Rayeuk, Aceh Timur pada 4 Desember 1989 setelah pengibaran bendera di Gunung Halimun, Pidie, yang dilakukan Hasan Tiro pada 4 Desember 1976.(*)
Editor's Choice
Tidak ada komentar:
Posting Komentar