Tgk Hasan Muhammad Ditiro bersama bersama pasukannya di hutan pedalaman Aceh. Karim Ditiro dan Bendera GAM (insert) |
SEMASA hidupnya, Hasan Tiro mengobarkan semangat perang ke luar-masuk hutan hingga ia dikejar-kejar Pemerintah atas tindakannya memerdekakan Aceh dari Indonesia.
Setelah mendeklarasikan GAM di Gunung Halimon, Pidie pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro makin gencar dicari-cari di berbagai pelosok Aceh.
Ia mengasingkan diri, ke luar negeri sampai akhirnya menetap di Stockholm Swedia.
Setelah 30 tahun lamanya mengobarkan semangat ideologi GAM di luar negeri, Hasan Tiro pulang ke Aceh pada 11 Oktober 2008 dan meninggal pada 3 Juni 2010 dalam usia 84 tahun.
Dalam sejarah perjuangannya, sosok Hasan Tiro kerap dikaitkan dengan politik.
Namun, tidak banyak yang tahu bahwa tenyata selama masa hidupnya Hasan Tiro juga memiliki sisi hidup humanis yang menarik dan jarang diketahui publik.
Lelaki romantis dan sastrawan
Semasa hidupnya Hasan Tiro sangat dekat dengan dunia sastra.
Bakat sastranya tercermin dalam bahasa yang ia gunakan dalam menulis.
Salah satunya lewat naskah drama epic berjudul “The Drama of Achehness History” menjadi sebuah bukti autentik yang menisbahkan Hasan Tiro sebagai seorang sastrawan handal, sekaligus seorang sutradara.
Naskah drama ini ia tulis semasa dalam perang gerilya di hutan Aceh sekitar Juli 1978.
Dalam masa itu, Menteri Pendidikan GAM Dr Husaini memutuskan mengangkat kisah sejarah perjuangan rakyat Aceh itu dalam bentuk sandiwara radio.
Selusin kaset tape recorder dibawa ke markas. Para perajurit GAM menjadi pemain memerankan berbagai tokoh dalam drama tersebut.
Sedangkan latar digunakan musik klasik karya komponis kelas dunia, seperti Antonio Vivaldi, Bach, Beethoven ditambah instrumen yang direkam dari stasiun radio internasional.
Butuh waktu satu minggu untuk merekam drama radio ini dan berhasil dengan sukses.
Kemudian Hasan Tiro memperbanyak kaset tersebut dan menyebarkannya ke seluruh Aceh.
Seorang nasionalis
Sosok Hasan Tiro tidak selamanya mengobarkan semangat perlawanan terhadap Pemerintah RI.
Ia ternyata juga sosok yang sangat nasionalis. Beberapa literatur menyebutkan, pada masa remajanya Hasan Tiro pernah menjadi penggerek bendera Merah Putih, di sebuah tempat di Lamlo (dulu bernama Lamulo), tak jauh dari rumahnya.
Setelah itu ia merantau ke Bireuen dan Yogyakarta.
Ia sempat menjadi orang kepercayaan Waperdam Sjafruddin Prawiranegara, lalu dikirim Pemerintah Indonesia menjadi staf Atase Penerangan di Kantor Peroetoesan Tetap Pemerintah Republik Indonesia (PTRI) di New York, AS.
Di kota tempat PBB bermarkas itu pula ia menamatkan program doktor pada Columbia University.
Dalam bukunya, The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro disebutkan meski pun berada dalam pengintaian Pemerintah Indonesia, selama di Amerika, Hasan Tiro merasa dirinya sukses besar dalam dunia bisnis.
Ia masuk ke jaringan bisnis besar dan berhasil menembus lingkaran pemerintahan di banyak negara, seperti di AS, Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan, kecuali Indonesia.
Ia menghindari berhubungan dengan Indonesia.
Dari hasil keuletannya itu, Hasan Tiro memiliki relasi bisnis dekat dengan 50 pengusaha ternama AS.
Perusahaan-perusahaan mereka bergerak dalam bidang petrokimia, pengapalan, konstruksi, penerbangan, manufaktur, dan industri pengolahan makanan.
Hasan Tiro punya hubungan kerja sama dengan beberapa perusahaan itu.
Sebagai seorang konsultan, dia banyak memimpin delegasi-delegasi pengusaha AS untuk bernegosiasi dalam transaksi bisnis besar di Timur Tengah, Eropa, dan Asia.
Salah satu kunjungan adalah tahun 1973. Hasan Tiro melawat ke Riyadh dan disambut Raja Faisal.
Ada dua hadiah yang dipersembahkan Hasan Tiro kepada Raja Arab Saudi itu.
Satu potret Raja Faisal berlatar belakang industri Arab Saudi.
Dan, satu lagi adalah album koleksi perangko bergambar Al- Malik Tengku Tjhik di Tiro.
Ini diberikan untuk mengingatkan Raja Faisal akan kepahlawanan Aceh, sekaligus kakek buyut yang dikaguminya.
Meskipun Hasan Tiro datang sebagai ketua konsorsium pengusaha Amerika, dia masih tetap seorang Aceh, bukan warga Indonesia.
Hasan Tiro tidak pernah mencampur urusan bisnis dengan politik.
Rekan-rekan bisnisnya tidak tahu apa yang ada dalam benak pengusaha di pengasingan itu.
Terutama tentang ambisinya mewujudkan kemerdekaan Aceh Sumatera.
Ia tidak pernah meminta simpati, nasihat, dan dukungan mereka.
Karenanya, nama dan perusahaan para pengusaha AS itu tidak disebutkan Hasan Tiro dalam buku hariannya yang belum selesai tersebut.
Menyayangi Karim di Tiro
Karim sangat berkesan bagi Hasan Tiro. Kemana pun dia pergi, Karim yang merupakan anak semata wayangnya selalu dibawa.
Karim mendapat tempat istimewa dalam The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan Di Tiro yang ia tulis semasa berada di medan gerilya.
Bahkan, ketika Hasan Tiro sudah berada di Aceh, salah satu kamp di hutan dinamakan sebagai Karim.
Bocah Karim telah menunjukkan watak tertentu saat berusia empat dan lima tahun.
Ceritanya, ketika Karim dibawa ke sebuah toko permen, segerombolan anak-anak mencoba mencuri permen.
Penjaga toko tidak mengetahuinya. Hasan Tiro yang sedang melihat-lihat beragam permen berpikir untuk melakukan sesuatu.
Tapi belum sempat ia berpikir, telah ada bunyi peluit. Gerombolan itu pun lari pontang-panting. Saat menoleh ke arah bunyi tersebut, ia melihat Karim dengan sebuah peluit di tangannya.
Wanita tua penjaga toko itu pun berterima kasih pada Karim.
Di lain kesempatan, cerita Hasan Tiro dalam buku The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan Di Tiro, Karim diajaknya ke masjid untuk shalat Jumat.
Karim selalu menjadi pandangan orang dan bahkan dipeluk para diplomat yang shalat di gedung PBB, New York.
Diajaknya Karim shalat di tempat itu, untuk membuat dia mengerti akan perintah agama.
Suatu ketika, Hasan Tiro sedang berjalan-jalan dengan Karim di Fifth Avenue, New York.
Banyak orang yang mendekati bocah itu untuk sekedar berbicara atau memegang pipinya.
Bila berjalan-jalan bersama Karim, Hasan Tiro merasa dirinya seperti mendampingi orang penting. Karena putranya selalu menjadi perhatian para pejalan kaki lain.
Di lain hari, Karim ditinggalkan ayahnya di lobi Hotel Plaza.
Hasan Tiro pergi sebentar untuk menelepon seseorang.
Belum selesai menelepon, ia melihat senator Eugene McCarthy, yang kemudian menjadi seorang calon Presiden AS, berbicara dengan Karim.
Senator itu kemudian menghampiri Hasan Tiro untuk memberi pujian kepada Karim.
"Saya harus menghampiri dan berjabat tangan dengan putra Anda, sebab ia terlihat tampan sekali!" kata senator itu.
Mengenang itu semua, Hasan Tiro galau dalam perjalanan pulang ke Aceh memimpin gerilya dalam upaya memproklamirkan Negera Aceh Merdeka.
Tepat 30 Oktober 1976, Hasan Tiro berhasil menyusup ke Aceh dengan sebuah kapal motor kecil.
Ia mendarat dengan selamat di Pasi Lhok, Kembang Tanjong, Pidie. Hasan Tiro meninggalkan segala kemewahaan di Amerika kemudian memimpin gerilya di Aceh.
Termasuk, Karim kecil dan istrinya Dora, ia tinggalkan di Amerika Serikat.
Sampai saat ini tidak banyak informasi yang terungkap tentang keberadaan Karim di Tiro, anak satu satunya pewaris Hasan Tiro dari perkawinannya dengan Dora, warga Amerika Serikat keturunan Yahudi yang memeluk Islam.
Beberapa informasi menyebutkan Karim di Tiro kini menetap di New York, Amerika Serikat.
Ia telah menjadi seorang akademisi, asisten professor dan mendalami sejarah Amerika.
Sampai akhir hayat ayahnya, Karim tidak pernah muncul ke publik.
Kala itu banyak orang di Aceh menunggu kepulangannya. Tapi itu tidak pernah terjadi.
Hasan Tiro pulang ke Aceh pada 11 Oktober 2008 dan meninggal pada 3 Juni 2010 dalam usia 84 tahun.
Bagi Hasan Tiro, kelahiran Karim mendapat tempat istimewa di hatinya. Bahkan naskah berjudul drama “The Drama of Achehness History” ia dedikasikan untuk putranya, Karim.
Disiplin dan mengenakan jas
Bukanlah seorang Hasan Tiro bila tidak disiplin dalam berpenampilan.
Penampilan bagi Hasan Tiro menujukkan identitas siapa lawan bicaranya.
Ia akan sangat senang apabila tamu yang datang berpenampilan rapi, bahkan ia lebih suka si tamu memakai jas.
Fakta ini sempat dialami sejumlah wartawan yang meliput kepulangan Hasan Tiro ke Aceh untuk pertama kali setelah 30 tahun hidup di pengasingan pada 2008 silam.
Semua wartawan yang akan menemuinya harus berpenampilan rapi, bahkan mengenakan jas hanya untuk menemui sang proklamator GAM itu.
Di usianya yang sudah renta, Hasan Tiro masih tetap menjaga penampilannya. Ia selalu mengenakan jas dan sepatu pantofel.
Sosok seorang diplomat dengan pemikiran yang cerdas juga masih terpancar dari sorot matanya yang tajam.
Menulis di medan gerilya
Sosok Hasan Tiro yang brilian tidak perlu diragukan lagi.
Ia juga mengetahui sejarah Aceh secara mendalam hinggga mendorongnya memberontak dan mendirikan Negara Aceh Merdeka.
Semua ide perjuangan di medan gerilya dan diplomatik ia tuangkan dalam beberapa buku dengan harapan ide kemerdekaan Aceh membumi dan diketahui dunia.
Adapun buku-buku yang ditulis Hasan Tiro, yaitu Acheh in World History (Atjeh Bak Mata Donja) diterbitkan New York pada 1968.
One-Hundred Years Anniversary of the Battle of Bandar Acheh (Sireutoih Thon Mideuen Prang Bandar Atjeh), New York, 1973.
The Political Future of the Malay Archipelago (Masa Ukeue Politek Donja Meulaju), New York, 1965.
The Struggle for Free Acheh (Perdjuangan Atjeh Meurdehka), 1976.
Semua buku tersebut sangat efektif membuka mata dunia tentang kedaulatan dan kemerdekaan Aceh.
Di mata Hasan Tiro, Aceh tidak pernah menyerah kepada penjajah Belanda.
Ketekunan menulis di medan gerilya juga dibuktikan Hasan Tiro saat menulis naskah drama, "The Drama of Achehness History”.
Hasan Tiro mengetik naskah itu sepanjang hari dari pukul 07.00 pagi sampai 18.00 WIB sore.
“Kadang-kadang ketika Teungku mengetik, seorang pengawal dari balai penjagaan mesti mendatanganinya untuk menyuruh Tengku berhenti mengetik karena penjaga melihat pasukan musuh yang lewat dekat mereka,” kata mantan Menteri Pendidikan Negara Aceh Sumatera, Dr Husaini M Hasan MD dalam bab pendahuluan naskah tersebut.
Penyuka Soft Drink Coca cola
Siapa sangka, ternyata semasa hidupnya, Hasan Tiro sangat dekat dengan minuman bersoda Coca Cola.
Minuman asal Amerika ini kerap menemani hari-harinya.
Bahkan sampai usia 84 tahun, Hasan Tiro tidak lepas dari minuman soft drink itu.
Kebiasaan ini tak perlu diragukan.
Sebab pada awal 50-an Hasan Tiro sudah menetap di Amerika, tepatnya di New York, tempat PBB bermarkas.
Tersiar kabar, ia baru meninggalkan AS pada tahun 1984, untuk hijrah sebentar ke Libya, dan seterusnya menetap di Swedia.
Menurut pembantu khusus Hasan Tiro, Muzakkir Abdul Hamid, Coca Cola merupakan minuman paling disukai pria kelahiran Tanjong Bungong, Kecamatan Sakti, Pidie itu.
"Di Swedia juga begitu. Wali sangat suka cola," kata adik ipar dr Zaini Abdullah yang sudah sepuluh tahun tinggal di Swedia tersebut, dan kini sudah menetap di Aceh sejak Zaini Abdullah terpilih sebagai gubernur.
Menyandang Status WNI Sehari Sebelum Meninggal
Seperti sudah mendapat panggilan hati, Hasan Tiro akhirnya kembali ke Aceh, tanah kelahirannya setelah 30 tahun hidup terasing di Swedia.
Kepulangannya pada tahun 2008 itu ternyata menjadi akhir dari perjuangannya di organisasi GAM.
Pada 2 Juni 2010 Hasan Tiro meninggal setelah 13 hari dirawat di RSUZA.
Sehari sebelum ia menutup mata untuk terakhir kalinya, Pemerintah Indonesia resmi memulihkan status WNI Hasan Tiro.
Surat itu disampaikan Menkopolhukkam Djoko Suyanto kepada perwakilan mantan petinggi GAM, Malik Mahmud dan kerabat dekat Tiro, di Banda Aceh.
Dalam surat itu disebutkan salah-satu pertimbangannya, yaitu alasan kemanusiaan, khusus dan politik.
Pertimbangan lainnya adalah nota kesepahaman damai antara Indonesia dan GAM.
Sebelumnya Hasan Tiro memegang kewarganegaraan Swedia sejak tahun 1979.
Kerap Berucap Thank You
Saat kepulangannya ke Aceh pada 2008 Hasan Tiro kerap mengucapkan "thank you...thank you." dan selalu tersenyun kepada orang yang menemuinya.
Bentuk apresiasi itu diucapkannya karena saat itu Hasan Tiro sudah tidak bisa banyak bicara karena faktor usia yang sepuh.
Tgk Hasan Muhammad di Tiro dimakamkan di Desa Murue, Indrapuri, Aceh Besar tepat di samping makam Pahlawan Nasional Tengku Cik di Tiro yang merupakan kakek buyutnya
Hasan Tiro sudah pergi selamanya, tapi ia mewarisi semangat keikhlasan dalam perjuangan demi membela bangsanya, rela meninggalkan kekayaan, gemerlapnya kota di Amerika Serikat, bahkan mengorbankan keluarganya.
Semuanya demi sebuah perjuangan yang di cita-citakannya untuk memproklamirkan kemerdekaan Aceh agar menjadi bangsa bermartabat dan terhormat dengan tidak menjadi budak bangsa lain.
Tapi entah siapa yang masih mewarisi keikhlasan dalam perjuangan dan kepedulian dalam mensejahterakan bangsa Aceh setelah Hasan Tiro pergi.[Ansari Hasyim]
Editor's Choice
Tidak ada komentar:
Posting Komentar