Siang di awal September 2019. Riuh suara pengunjung kentara terasa. Sejumlah anak muda duduk bersebelahan meja. Di depannya tersaji bermacam kue, dan tentu saja segelas kopi.
"Di
sini kopinya enak dan suasananya juga nyaman untuk ngobrol," ujar
Yunandar.
Saat
ditemui lelaki 32 tahun ini duduk bersama beberapa temannya di sebuah warung
kopi di bilangan Beurawe, Banda Aceh.
Hampir
setiap waktu kedai kopi empat pintu ruko itu ramai didatangi pengunjung.
Setiap
beberapa menit sekali, pramusaji membawakan bergelas-gelas kopi ke meja
pengunjung.
Warung
Kopi Cut Zein, begitu namanya, menjadi tempat favorit Yunandar bersama
teman-temannya berkumpul.
Menurut
lelaki ini, cita rasa kopi di Warung Cut Zein memang beda. Beda rasanya, juga
suasananya.
"Di
sini tempat yang nyaman untuk ngobrol," sebutnya.
Bisa
dibilang, para penikmat kopi di Warung Cut Zein atau sering di kenal dengan
Kupi Beurawe (Kubra) berasal dari lintas generasi, usia, bahkan kelompok.
Mereka
datang dari berbagai kalangan, dengan status sosial berbeda-beda.
Sehari-sehari,
warung kopi ini buka 12 jam. Mulai pukul 06.00 WIB dan tutup pukul 18.00
WIB.
Uniknya,
kedai kopi Cut Zein tidak menyediakan layanan internet gratis, seperti
kebanyakan warung kopi di Banda Aceh. Para pengunjungnya juga dilarang bermain
games di sini.
Pilihan
ini jelas tidak populer di tengah warung kopi lain berlomba memanjakan
pelanggan dengan menyediakan wifi gratis.
"Di
tempat lain sebetulnya juga bagus, tapi kalau di sini racikan kopi robustanya
yang khas. Selain itu, kita datang ke sini, hanya untuk bertemu dan ngobrol
dengan teman tanpa pegang hp, atau laptop," kata Rahmat Fitri,
mengungkapkan alasannya mengunjungi kedai Kopi Cut Zein.
Karyawan
BUMN ini mengakui sudah lama menjadi pelanggan tetap kopi Cut Zein bersama
rekan-rekannya.
"Kalau
untuk ngobrol dan ketemuan, di sini tempat pas," sebutnya.
Selain
kopi robusta atau kopi saring, Kedai Kopi Cut Zein juga menyediakan minuman
favorit kopi cokelat panas.
Bila
terasa lapar bisa juga mencoba nasi bungkus daun pisang atau populer disebut bu
prang (nasi perang) yang hanya tersedia di waktu pagi.
Warkop
legendaris
Menurut
sejarahnya Kedai Kopi Cut Zein berdiri sekitar tahun 1945. Pemilik pertamanya
bernama Muhammad Zein Sulaiman. Namun setelah ia meninggal, usaha kedai kopi
dilanjutkan anaknya Makmun Zein hingga sekarang.
Artinya,
Kedai Kopi Cut Zein sudah berjalan 74 tahun mengembangkan bisnis kopinya.
Melihat
peran dan sejarah bisnis kopinya, tak dapat dipungkiri keberadaan Kedai Kopi
Cut Zein menjadi salah satu ikon wisata kopi klasik di Banda Aceh.
Ruangannya
terasa luas memanfaatkan empat pintu ruko.
Di
tiap pintu bagian atas terdapat satu cermin besar yang dipasang melebar.
Mejanya dilapisi marmer bundar dan persegi, dikelilingi kursi plastik
sebagai tempat duduk.
Ada
enam kipas angin terpasang di langit-langit kedai sebagai penyejuk ruangan. Di
sudut kanan kedai tampak satu meja persegi.
Terlihat
lebih tinggi dari meja-meja lain dan ada toples berjejer di depannya. Itulah
meja yang ditempati Makmun Zein, si pemilik kedai yang juga merangkap sebagai
kasir.
Di
sampingnya, berdiri satu lemari kaca berisi berbagai jenis rokok dan bungkusan
bubuk kopi serta barang-barang lainnya.
Di
dinding bagian dalam toko, terpajang beberapa foto bersejarah.
Lapisan
cat polos berwarna krem menambah kesan klasik dari warung kopi ini. Pelataran
kedai yang dinaungi kanopi menjadi tempat favorit pengunjung saat
berkumpul.
Kalau
siang, embusan angin sepoi-sepoi begitu terasa memberi sensasi tersendiri bagi
pengunjung.
* * *
Di
tengah era persaingan usaha, Kedai Kopi Cut Zein terus menggeliat beriringan
dengan kafe-kafe modern di Banda Aceh yang sudah memakai peralatan mutakhir
dalam mengolah si bubuk hitam.
Dari
cara mengolahnya, barista di kedai kopi Cut Zein masih mempertahankan cara
klasik. Kopi yang disajikan kepada pelanggan berasal dari bubuk kopi yang
disaring.
Meracik
kopi dengan cara klasik ini ternyata memberi ciri khas tersendiri. Inilah yang
menjadikan Kedai Kopi Cut Zein sebagai warung kopi legendaris di Banda
Aceh.
"Rasa
kopinya khas dan bikin nyaman di lidah," kata Rahmat Fitri, penikmat kopi
robusta di Banda Aceh.
Setelah
berjalan sekian lama, para penikmat kopi Kubra, yang sering berkumpul di warung
itu kemudian berinisiatif membentuk komunitas.
Pada
tahun 2011 lahirlah sebuah komunitas yang berhimpun dalam wadah Forum
Silaturahmi Kupi Beurawe (Forsilakubra).
Tujuannya
untuk mengeratkan silaturahmi sesama anggota yang jumlahnya mencapai
ratusan.
Kebanyakan
mereka adalah para penikmat kopi dengan berbagai latar belakang sosial, pendidikan
dan profesi.
* * *
Antropolog
dari UIN Ar Raniry Banda Aceh Reza Idria mengatakan secara kultur, kopi
sebenarnya hal baru bagi kehidupan masyarakat Aceh.
Kopi
bukan tumbuhan organik dan baru dikenal masyarakat Aceh setelah dibawa oleh
Belanda ke Sumatra. Berbeda dengan nira atau ganja yang memang disebutkan dalam
hikayat-hikayat maupun catatan-catatan perjalanan orang yang pernah singgah di
Aceh sebelum kolonial datang.
"Cara
minum kopi yang benar juga baru bagi kita sebenarnya, setelah tsunami orang
baru mengutamakan biji kopi Arabika dan cara pengolahan juga menjadi lebih baik
untuk mendapatkan ekstrak kopi yang bermutu. Itu juga karena sebelumnya
biji-biji kopi yang bagus diangkut ke Eropa oleh Belanda, makanya masyarakat
mencampur sisa-sisa yang ada dengan jagung, pinang, telur dan bahan-bahan pahit
lainnya ketika diolah dan dikonsumsi di warung-warung kopi tradisional,"
ujar kandidat Doktor Antropologi Universitas Harvard, Amerika Serikat
ini.
Warung
kopi di era sekarang--seperti halnya Kubra yang masih memakai cara tradisional
dalam meracik kopi hingga kafe yang menggunakan alat modern--kerap
diasosiasikan sebagai ruang publik menuangkan ide, gagasan dan berdiskusi.
Budaya
ngopi di Aceh ditengarai tumbuh dan berkembang pesat pascakonflik dan
tsunami 2004.
"Konflik
memang salah satu faktor penting bagi tumbuh dan berkembangnya budaya berkumpul
di warung kopi. Pertama untuk mendapatkan informasi termutakhir tentang perang
ketika itu, kedua memberikan rasa aman karena warung kopi dan kerumunan
dianggap sebagai salah satu cara menampakkan diri kepada otoritas bahwa mereka
tidak lari dari kampung untuk bergabung dengan GAM. Karena sudah menjadi ruang
publik perlahan ia membuka celah bagi negosiasi dan perkenalan,"
ujarnya.
Di
sisi lain, eksistensi warung kopi juga dimanfaatkan untuk menunjukkan jati diri
seseorang.
"Orang
menjadi lebih cepat kenal satu sama lain kalau ikut bergabung di warung kopi.
Ada pertukaran gagasan di sana, pertukaran nilai, transaksi ekonomi dan juga
politik. Setelah tsunami keadaan menjadi lebih aman, dan bagi penyedia pasar
warung kopi referensi bagaimana mendesain dan menarik pelanggan juga
bertambah," tegas Reza.
Menurutnya
ketika sudah menjadi bagian gaya hidup, maka warung kopi dengan sendirinya
membentuk segmen-segmen dan pasar. Segmen-segmen tersebut yang kemudian
mendefinisikan siapa warganya dan siapa yang eksis di sana. Ada warkop yang
dominan didatangi oleh politisi, jurnalis, anak band, komunitas baca buku dan
sebagainya.
Sepertinya
halnya Warung Kopi Cut Zein yang telah membentuk segmen pasar dan komunitas
penikmat kopi sendiri agar bisnisnya tetap berjalan seiring perubahan
zaman.
"Jadi
eksistensi dengan keberanian yang ditunjukkan dengan cara beragam dan berbeda,
sangat subjektif karena sikap itu hanya muncul ketika seseorang ke warung kopi
yang pasarnya diisi kawanan dimana seseorang berharap menjadi bagian
darinya," sebut Reza.(*)
Editor's Choice
Tidak ada komentar:
Posting Komentar