News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Sensasi Nirapresso di Moorden Cooffee

Sensasi Nirapresso di Moorden Cooffee

"Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keude meulaboh atawa ulon akan syahid." Kalimat dengan ukuran huruf mencolok itu tertulis di dinding Moorden Coffee di bilangan Beurawe, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. 

 

Kalimat yang terkenal diucapkan Pahlawan Nasional Teuku Umar sebelum syahid dalam pertempuran dengan Belanda itu seolah menyambut pengunjung yang datang. 

 

"Moorden Coffee memaknainya sebagai slogan untuk mengingatkan kita kalau budaya ngopi di Aceh sudah lama ada, dan itu tertulis dalam sejarah," kata Dinda Sutari, pemilik Moorden Cooffee akhir September 2019. 

 

Siang yang gerah itu suasana kafe sedang ramai pengunjung. Sebagiannya mengobrol ditemani makanan dan minuman. Pengunjung lainnya memilih duduk di pelataran kafe yang menghadap ke jalan. 

 

Sejak setahun belakangan Moorden Coffee diminati para pencinta kopi di Banda Aceh karena menyuguhkan varian kopi kopi nira, atau lebih populer dikenal dengan nama Nirapresso. 

 

Di Moorden Coffee, varian Nirapresso menjadi minuman favorit konsumen. Varian minuman ini disukai segala usia karena cita rasanya yang khas. 

Bisa dibilang, Moorden menjadi salah satu kafe yang mempopulerkan kopi nira sebagai varian baru dalam daftar minuman yang disukai pecinta kopi arabika di Banda Aceh. 

 

Menurut Dinda sebetulnya kopi nira bukan hal baru di Aceh. Minuman ini sejak lama sudah dikenal di masyarakat, terutama di wilayah tengah dan pesisir Aceh. Hanya saja Moorden berupaya menghadirkan kembali minuman warisan pendahulu ini dalam bentuk rasa, dan cara penyajian yang berbeda. 

 

"Para pelanggan dari segala usia yang datang ke sini bisa menerimanya, mereka menyambutnya dengan positif," sebut Dinda. 

 

Banyaknya peminat Nirapresso, membuat air nira yang selama ini kurang bernilai menjadi lebih berharga. Rata-rata sehari Moorden menghabiskan 20 sampai 40 liter air nira. 

 

"Untuk stok air nira kita dapatnya dari petani di Aceh Besar. Kita pakai nira yang sudah diambil satu sampai tiga hari. Lewat waktu di atas itu kita tidak pakai, karena rasanya sudah berubah," jelas Dinda. 

 

Meningkatnya permintaan air nira ini ternyata juga mendatangkan manfaat bagi para petani lokal di Aceh Besar. Secara tidak langsung, kata Dinda, Moorden turut andil memberi efek ekonomi, dan memberdayakan para petani lewat usaha kopi nira yang dikelolanya.

 

                       * * *

 

Nirapresso diracik menggunakan dua ekstrak utama. Yaitu air nira atau bahasa Aceh disebut Ie Jok, dan ekstrak kopi arabika yang telah lebih dulu diproses lewat mesin pembuat kopi. Air nira berwarna putih dimasukkan dalam wadah di takaran setengah gelas kemudian dicampur dengan ekstrak kopi "one shoot espresso" sehingga menjadi satu gelas. 

 

Campuran ini menghasilkan dua warna. Nira yang berwarna putih mengendap di bawah dan ekstrak kopi tampak di bagian atas gelas. Setelah diaduk warnanya berubah menjadi coklat muda. Biasanya Nirapresso disajikan bersamaan dengan es batu untuk menambah kesegaran. Rasanya manis dan khas, perpaduan antara nira dan kopi. 

 

Untuk varian ini harganya Rp 15 ribu satu gelas. Selain itu Moorden juga menyediakan varian kopi nira premium. Serupa tapi tak sama. Varian Nirapresso Preminum lebih istimewa. Diracik menggunakan ekstrak kopi arabika wine yang diproses menggunakan metode cool dried. Moorden berharap kehadiran duo nirapresso ini bisa mengulang kesuksesan varian minuman sanger yang disukai semua kalangan. 

 

Seperti diketahui sanger merupakan campuran kopi hitam, susu kental dan gula. Secara fisik, sanger memang mirip kopi susu atau coffee latte. Tak semua para pembuat minuman kopi bisa membuat sanger. Karena untuk membuat sanger takaran kopi, susu kental dan gula harus pas. 

 

Melengkapi suasana rehat, para konsumen di Moorden bisa menjajal menu lain yang tidak kalah serunya. Seperti boh manok weng, nasi keumamah, bu nektu dan varian terbaru kopi awan ala Moorden. Harganya masih terjangkau untuk ukuran anak kos sekali pun.

 

 

Kuliner tempo dulu

 

Memunculkan kembali konsep kuliner tempo dulu, menjadi cita rasa yang berkelas. Begitu kira-kira konsep awal yang dibangun Moorden Coffee yang dikelola anak-anak muda kreatif di Banda Aceh. Pada awal beroperasi Maret 2018, Moorden hanya punya satu unit usaha di Beurawe. Seiring pertumbuhannya bisnis yang membaik, Dinda bersama dua teman lainnya yang menjadi investor dalam usaha tersebut, menambah satu unit usaha lagi yakni Moorden Coffee 2 yang berlokasi di kawasan Pango. 

 

Di tempat ini suasananya lebih ramai dan terkesan luas. Baik dari segi tempat maupun halaman parkir. Dinda menyebutkan, keberadaan Moorden Coffee tidak hanya berorientasi mencari keuntungan semata lewat bisnis kopi nira yang banyak diminati konsumen. Akan tetapi, Moorden juga membangun konsep usaha yang bernilai dan bermanfaat bagi orang banyak. 

 

"Konsep Moorden yang kita bangun bertujuan untuk membangun manusia dengan bisnis bukan membangun bisnis dengan manusia," ujarnya. 

 

Sebab itu, di samping menjalankan usaha, Moorden juga menjalankan kegiatan sosial yang dananya dikumpulkan dari para konsumen yang membeli produk makanan dan minuman, serta dari keuntungan perusahaan. 

 

"Setiap orang yang datang kemari bukan hanya ngopi, tapi mereka juga bersedekah.  Setiap bulan kita ada jadwal sedekah rutin. Misalkan setiap pagi kita beri sedekah nasi gurih, nasi kuning dan lontong 50 bungkus, digilir jenisnya," ujar Dinda. 

 

Konsep berbagi dan menebar kebaikan ini sudah berjalan sejak Moorden berdiri. 

 

"Kami juga punya satu tujuan lain yaitu bagaimana menebar kebaikan dan kesempurnaan dalam melayani," tukasnya. 

 

Bagi pelanggan yang tidak memiliki duit sama sekali Moorden menawarkan paket khusus. Beli minuman gratis nasi, paket kedua gratis minum gratis nasi. 

 

Tidak hanya cukup transaksi di meja kasir, para pelanggan Moorden Cooffe kemudian membentuk satu komunitas tersendiri yang berhimpun dalam wadah Famoor, atau dikenal dengan Family Moorden. Anggotanya terdiri atas pelanggan dan konsumen Moorden serta para pekerja. Pada waktu tertentu Famoor kerap melakukan berbagai aksi sosial menebar kebaikan bagi warga miskin, atau membangun fasilitas umum. Saat ini Moorden memilik 72 pekerja yang tersebar di dua unit usaha.

 

                      * * *

Penamaan Moorden Coffee secara harfiah memang erat kaitannya sejarah Aceh. Istilah "Moorden" sendiri artinya pembunuhan. Asal katanya dari Belanda. Saat itu awal abad 20 Belanda mempopulerkan istilah Atjeh Moorden atau Aceh pungo (gila) kepada rakyat Aceh.  Perang Aceh melawan Belanda meletus pada tahun 1873 merenggut banyak korban dari pihak Belanda. Kematian para serdadu Belanda dikarenakan "kegilaan" pejuang Aceh di medan tempur itu membuat Belanda frustrasi. 

 

Sehingga Belanda saat itu menabalkan rakyat Aceh dengan istilah "Atjeh Moorden" atau Atjeh Pungo. Dinda Sutari kemudian mengutip istilah Moorden tersebut menjadi nama kafe yang dikelolanya. 

 

"Karena otentiknya orang Aceh gila secara positif, orang Aceh membahas apa pun sangat otentik membahasanya di kedai kopi," ujarnya. 

 

Suasana ruangan yang nyaman dan luas membuat para konsumen Moorden mendapat feel saat berada di dalam. Hampir setiap hari, apalagi akhir pekan, Moorden menjadi tempat tongkrongan segala usia. Misalkan saja Syahrul. Saat ditemui lelaki 53 tahun ini membawa serta istrinya Syarifah (37) bersama dua anaknya, Asya (7) dan Azra (12). 

 

Syahrul mengaku mendapat taste yang unik kala meneguk segelas nirapresso dingin. 

 

"Saya penikmat kopi original, khususnya arabika gayo tanpa gula. Bukan kopi yang diolah, kalau diolah saya tidak bisa. Di Moorden saya menemukan yang unik, nira espresso, saya suka taste-nya," ujar karyawan swasta yang akrab disapa Yuyun. 

 

Bagi kaula muda, Moorden menjadi pilihan untuk menghabiskan waktu senggang sambil berselancar di dunia maya. Makmur Dimila, penikmat kopi di Banda Aceh, menuturkan keberadaan Moorden lebih dari sekadar tempat mengisi waktu lowong. Ia kerap menyambangi Moorden di bawah jam 12 siang. Moorden, seperti juga kebanyakan warung kopi lain, menjadi kantor kedua bagi Makmur Dimila. 

 

"Warung kopi menjadi tempat silaturahmi dan sosialisasi. Walau pun ada kantor saya tetap singgah di warkop. Tujuan saya 70 persen untuk bekerja dan 30 persen lagi untuk bertemu teman dan ngobrol," ujarnya. 

 

Dalam mencari taste kopi yang pas nikmat di lidah, Makmur lebih memilih Moorden. "Dari taste-nya sangat membantu, kalau saya pribadi, kurang bisa beraktivitas kalau tidak ada kopi arabika. Kalau robusta sudah saya tinggalkan. Apalagi saya ada masalah dengan lambung," ujar blogger dan juga traveler aktif di Banda Aceh ini. 

 

"Saya sering pesan kopi black, atau kopi tanpa gula atau arabika kalau kopi nira agak berat buat saya," ujarnya lagi. 

 

Makmur berharap pemerintah bisa mendukung pertumbuhan warung kopi di Banda Aceh seiring dengan ajakan ngopi atau duduk di warung kopi sudah menjadi tren dan budaya di Kota Madani. 

 

Pemerintah setidaknya bisa memberi stimulus dan membina usaha warung kopi di Aceh menjadi  destinasi wisata yang menjanjikan.(*) 

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar