News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Mengungkap Sisi Gelap Pulau Bunta, Sekeping Surga yang Tercecer

Mengungkap Sisi Gelap Pulau Bunta, Sekeping Surga yang Tercecer

HARI masih sangat pagi. Dua perempuan muda itu bergegas pergi. Dermaga Ujong Pancu, Desa Lamteungoh, Aceh Besar, tempat yang dituju terlihat masih sepi.


Deburan ombak terdengar riuh. Beberapa perahu tampak tertambat ditinggal para nelayan. Di ujung sana, seorang lelaki paruh baya sudah menunggu. “Kita harus berangkat sekarang. Sebelum air laut pasang,” ujar Ridwan, lelaki paruh baya itu.

Dari dermaga Lamteungoh, ketiganya pergi. Perahu motor menderu membelah ombak laut yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. In
ilah awal petualangan Cut Ervida Diana dan Darang Melati, dua sineas muda Aceh saat memasuki kawasan Pulau Bunta, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Nama pulau di gugusan terluar Provinsi Aceh itu, mendadak booming setelah diangkat dalam satu film dokumenter berjudul “Hikayat di Ujung Pesisir” (HDUP).

Film ini mengharumkan nama Aceh dalam Eagle Awards Documentary Competition 2013 bertajuk Harmoni Indonesia karena terpilih sebagai film finalis favorit pemirsa Metro TV. Secara keseluruhan HDUP bercerita tentang aktivitas pengeboman ikan di Pulau Bunta yang telah berlangsung turun temurun. Namun tanpa disadari aktivitas para nelayan ini telah berdampak pada kerusakan ekosistem dan hasil ikan laut di kawasan Aceh Besar berkurang.


Cut Ervida dan Darang Melati
“Awalnya tidak ada pikiran ke Pulau Bunta. Tapi ada teman yang menyarankan coba ke Pulau Bunta, mungkin di sana ada sesuatu yang bisa garap,” kata Cut Ervida. Gadis kelahiran Tringadeng, Pidie, 31 Desember 1990 ini sekarang tercatat sebagai mahasiswi FKIP Unsyiah Jurusan Bahasa Inggris dan UIN Ar-Raniry Fakultas Syariah Jurusan SAS.

Sedangkan rekannya, Darang Melati lahir di Banda Aceh 29 Februari 1992 dan tercatat sebagai mahasiswi FKIP Unsyiah Jurusan Bahasa Inggris. Darang maupun Cut sudah lebih dulu mengikuti screening dan coaching film dokumenter Eagle Awards pada awal Mei silam. Tahap berikutnya dari coaching itu mengajukan mengajukan proposal liputan, dan akhirnya disetujui panita.

Proses penggarapan film ini dimulai pada Mei-November 2013 yang dibagi dalam tiga tahap; pra produksi, proses produksi dan pascaproduksi. “Semuanya dimulai dari nol, sama sekali tak ada informasi. Pertama yang kita lakukan adalah riset. Dari sini kita berusaha menemui warga yang bisa memberi informasi,” ujar Cut.


Keindahan Pulau Bunta di Aceh Besar
Mereka bertemu Kepala Desa, Hasmadi, dan beberapa penduduk Pulo Bunta seperti Ridwan, Muhammad, Hasyim dan Munizar. Mereka inilah kemudian yang yang menjadi tokoh central dalam film HDUP.

Para tokoh dalam film ini masing-masing punya pengalaman dan kisah tersendiri. Misalkan Hasyim adalah salah satu nelayan yang dulunya bekerja sebagai pemotong bom yang kini telah kehilangan sebelah kakinya. Muhammad adalah mantan pengebom yang kehilangan kedua matanya dan tangan kanannya akibat mengebom ikan. Munizar adalah mantan pengebom ikan yang kehilangan tangan kanannya.

Tak dapat dipungkiri, cerita yang diangkat dalam film ini tergolong sesuatu yang baru, dan luput dari ekspose media. Pulau Bunta selama ini hanya dikenal sebagai satu pulau di Aceh Besar dengan pesona alamnya yang indah. Mayoritas penduduknya nelayan, yang hanya bisa dihitung dengan jari. “Di pulau ini tidak terdapat monyet, nyamuk, tupai dan kodok, dan banyak pohon kelapa,” ujar Darang Melati.

Namun ironisnya, mereka menemukan fakta yang memiriskan. Ternyata di pulau yang memakan waktu 45 menit perjalanan dari Ujong Pancu ini kerap terjadi pengeboman ikan di dasar laut. Cerita ini kemudian menjadi benang merah dalam film HDUP.

Diakui Darang, awalnya tidak mudah mengangkat kisah tersebut menjadi satu rangkaian cerita. Banyak rintangan yang dihadapi. Mulai dari wilayahnya yang berbukit, dan bertebing curam dengan cuaca yang sesekali ekstrem. Kondisi laut dan cuaca yang tak menentu juga terkadang menyulitkan proses pengambilan gambar.



Pengambilan gambar bisa memakan waktu seharian. Kerap Cut, Darang bersama kameraman dan seorang pengarah (tutor) harus naik turun bukit. Bahkan mereka harus rela tidur di rumah penduduk untuk mendapat visual yang diinginkan.

“Kita juga harus naik ke atas bukit agar bisa dapat gambar sunset (matahari tenggelam). Di lain waktu juga harus pulang lewat jalan bukit dan tebing yang curam, karena tidak bisa melewati bibir pantai yang airnya sudah naik pasang,” jelas Darang.

Tapi semua tantangan itu dapat terlewati karena ada sosok Ridwan, nelayan Pulau Bunta yang mahir membaca alam. “Awalnya memang ada kesulitan saat melakukan pendekatan dengan masyarakat. Tapi setelah sekian lama kami bolak balik ke Pulau Bunta, mereka dapat lebih terbuka dan secara emosional sudah sangat dekat dengan kami,” katanya.

Sampai akhirnya HDUP berhasil masuk dalam 50 besar, 20 besar sampai 10 besar film dokumenter terbaik, dan terakhir menjadi satu dari lima finalis untuk kategori film dokumenter pilihan pemirsa Metro TV.

Tak dapat dipungkiri HDUP merupakan fakta tak terbantahkan yang mengungkap sisi gelap Pulau Bunta di balik pesonanya yang eksotik dan terasing. “Film ini tidak menawarkan satu solusi. Tapi hanya mengungkap fakta yang terjadi. Kami berharap nasib nelayan di sana bisa berubah menjadi lebih baik setelah film ini diputar secara nasional,” ujar Darang Melati.(ansari hasyim)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar