News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Lamuri Kota Bandar yang Hilang

Lamuri Kota Bandar yang Hilang



ARKEOLOG dari Univesitas Sumatera Utara (USU), Dr Supriyatno mengatakan, 80 persen situs Kerajaan Lamuri saat ini mengalami kerusakan parah ditandai dengan banyaknya kompleks makam dan nisan yang tidak utuh lagi.

“Kerusakannya hampir merata di semua titik. Setidaknya dari awal pemetaan diketahui ada 150 lokasi, yang semuanya dalam kondisi rusak akibat alam dan pembukaan ladang,” ujarnya kepada Serambi awal Oktober lalu dalam ekspedisi riset dan pemetaan (mapping) situs Lamuri. Selain dirinya, penelitian ini juga melibatkan Kepala Pusat Penyelidikan Arkeologi Global (PPAG) University Sain Malaysia, Prof Dr Datuk Muchtar bin Saidin, Kepala Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB) Unsyiah, Dr Husaini Ibrahim MA, Tgk Taqiyuddin Lc, ahli baca batu nisan dari Lembaga CISAH, dan Dedi Satria, arkeolog UGM.

Suprayitno menyebutkan, wilayah kekuasaan Kerajaan Lamuri dilihat dari penampakan peta menyerupai paruh burung, di mana bagian tengah berada di atas perbukitan menjorok ke laut, sehingga membentuk tanjung diapit dua teluk; Teluk Krueng Raya dan Teluk Lamreh.

Berdasarkan temuan banyak makam ‘orang-orang penting’ di situs Lamuri, Supriyatno meyakini pada masa kejayaannya, Lamuri merupakan suatu pemukiman yang maju dengan ciri khasnya sebagai Kota Bandar atau pelabuhan.

“Sampai sekarang, kita belum menemukan ada istana. Tapi dari bukti sejarah, Lamuri dapat dipastikan sebagai satu Kota Bandar yang maju,” katanya.

Pada 2009 lalu, Suprayitno menjadikan situs Lamuri sebagai bagian dari objek penelitian tentang bukti Islam tertua di Asia Tenggara. Keyakinan Lamuri merupakan kota Bandar juga diperkuat dengan temuan kompleks makam di kawasan itu.

Menurut Suprayitno, secara geopolitik dan lokasinya diapit dua teluk, juga sangat memungkinkan Lamuri, pada masanya menjadi wilayah singgahan pedagang dari berbagai negara.

Peneliti sejarah E Edwars Mckinnon pada 2011 mengungkapkan tentang adanya lokasi di Lamreh yang pernah menjadi pemukiman dan merupakan tempat yang cukup ramai sekitar 600-700 tahun silam. Keberadaan pemukiman kuno tersebut dibuktikan dengan temuan beling dan pecahan kaca kuno dari India Selatan, jenis-jenis tembikar yang dibuat di beberapa lokasi di Asia Selatan dan artefak lainnya.

Peneliti sejarah Aceh, Tgk Taqiyuddin Lc mengatakan, dari kawasan situs Lamreh dan Kuta Luboek serta beberapa struktur peninggalan sejarah yang ditemukan di permukaan Lamuri, mengindikasikan adanya sebuah bekas yang hampir mirip penggambaran Alquran dalam Surah An Nisa’: 78, buruju musyayyadah (istana-istana atau benteng-benteng yang tinggi dan berwarna kapur).

Sementara itu Arkeolog Universitas Gajah Mada (UGM), Dedi Satria  menyebutkan, 90 persen temuan pecahan keramik dan tembikar di lokasi situs Lamuri merupakan barang-barang yang diperdagangkan di kawasaan Asia Tenggara (Cina), Sri Lanka, Timur Tengah, India Selatan (Tamil Nadu). Beberapa ciri khas keramik dan tembikar tersebut berwarna merah, biru, dan hijau.

Selain itu, kata Dedi, ada juga temuan keramik yang berasal dari Dinasti Yuan (Mongol) yang menguasai perdagangan keramik hijau dan biru pada akhir abad 12 masehi. Menurut Dedi, pada masa itu Kerajaan Lamuri sudah menjadi salah satu pusat perdagangan di Asia Tenggara.

Tidak hanya keramik, di Lamuri juga mencul para perajin berbagai perhiasan mulai dari emas, logam dan perunggu. Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan wadah tempat peleburuan emas di situs Lamuri.

“Bisa dikatakan pada masa itu Lamuri menjadi Kota Bandar dan tujuan utama perdagangan di Asia Tenggara,” ujar Dedi.

Selain itu, katanya, situs Kerajaan Lamuri juga menyimpan satu misteri yang belum pernah terungkap sepenuhnya hingga saat ini, yakni tentang keberadaan kayu cendana yang banyak tumbuh di kawasan situs, dan paling diburu para pedagang Persia dan Yaman kala itu.

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar