News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Hasan Tiro Sang Sutradara

Hasan Tiro Sang Sutradara



Kepada Anandaku, Karim.

“Dalam ingatan saya, sekitar 500 ribu laki-laki gagah berani, perempuan dan anak-anak Aceh, dan satu setengah dari jumlah keseluruhan penduduk meninggal dalam perang Aceh untuk mengusung kemerdekaan yang dimulai sejak 1873 sampai 1942, dikutip berdasarkan kisah nyata oleh penulis dan pemain dalam drama ini.”
    
SEMASA hidupnya, Hasan Tiro mengobarkan semangat perang ke luar-masuk hutan hingga ia dikejar-kejar Pemerintah atas tindakannya memerdekakan Aceh dari Indonesia. Setelah mendeklarasikan GAM di Gunung Halimon, Pidie pada 4 Desember 1976, ia mengasingkan diri, ke luar negeri sampai akhirnya menetap di Stockholm Swedia. Setelah 30 tahun lamanya mengobarkan semangat ideologi GAM di luar negeri, Hasan Tiro pulang ke Aceh  pada 11 Oktober 2008 dan meninggal pada 3 Juni 2010 dalam usia 84 tahun.

Dalam sejarah perjuangannya, sosok Hasan Tiro kerap dikaitkan dengan politik. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa tenyata almarhum selama masa hidupnya juga kerap bergelut dengan dunia sastra. Naskah drama berjudul “The Drama of Achehness History” menjadi sebuah bukti autentik yang menisbahkan Hasan Tiro sebagai seorang sastrawan handal, sekaligus seorang sutradara drama. Kopian naskah drama ini masih tersimpan di sebuah perpustakaan di Eropa, bersamaan dengan berbagai surat politik yang ada di dalamnya.
Karim Tiro (tengah)
Sebagaimana tertera pada awal bab dari satu adegan ke adegan lain yang semuanya dikisahkan dalam delapan babak, naskah drama ini juga didedikasikan kepada anak semata wayangnya, Karim di Tiro yang kini menetap di New York, Amerika Serikat.

Sejarawan FKIP Unsyiah, Dr Husaini Ibrahim menilai Hasan Tiro merupakan sosok pemikir yang brilian. Semasa dalam perjuangan ia pernah memimpin memberikan kuliah di universitas tertutup (UT) di Gunung Halimun, Kabupaten Pidie pada 1976. Kuliah itu dihadiri mahasiswa perdana, kemudian berlanjut dengan mendirikan “University of Aceh” di Pidie yang kuliah perdana dimulai pada 20 September 1977.

Banyak mahasiswanya kemudian berhasil diwisuda. Ada beberapa alumni telah almarhum, ada pula yang “disekolahkan” pada masa Orde Baru, dan beberapa di antaranya telah menjadi “orang” dan memegang peranan penting di Aceh dan luar negeri. Husaini mengatakan untuk membuka “kotak hitam” sejarah Aceh, maka sangat identik dengan membaca pikiran Hasan Tiro dalam sejumlah karya tulisnya.

“Hasan Tiro sangat menekankan pada aspek pendidikan. Maka ke depan perlu ada satu pemikiran untuk mendirikan lembaga pendidikan semacam Institute Hasan Tiro,” ujarnya.
Haekal Afifa, Penerjemah Buku “Atjeh bak Mata Donja” (Aceh di Mata Dunia) yang ditulis Hasan Tiro menyebutkan bahasa yang digunakan Hasan Tiro dalam karyanya sarat dengan makna perjuangan dan membangun semangat heroisme rakyat Aceh ketika itu.
Hasan Tiro Bersama Tentara GAM di Libya 1976
“Dalam setiap tindakan dan karyanya, Hasan Tiro punya konsep etnonasionalisme yang kemudian digagas dalam pergerakan Aceh Merdeka,” ujarnya.

Tindakan Hasan Tiro ini juga tercermin dalam karya sastra “The Drama of Achehness History” (Sebuah Drama Sejarah Aceh 1873-1978). Dalam bab pendahuluan naskah drama itu, mantan Menteri Pendidikan Negara Aceh Sumatera Dr Husaini M Hasan MD menyebutkan  Hasan Tiro menulis naskah drama tersebut sejak Juli 1978 dengan memanfaatkan waktu senggangnya di antara peperangan dan ketika beristirahat di sepanjang perjalanan pemeriksaaan ke berbagai bagian negara (wilayah Aceh) yang biasa dilakukan dengan berjalan kaki.

Hasan Tiro mengetik naskah itu sepanjang hari dari pukul 07.00 pagi sampai 18.00 WIB sore. “Kadang-kadang ketika Teungku mengetik, seorang pengawal dari balai penjagaan mesti mendatanganinya untuk menyuruh Tengku berhenti mengetik karena penjaga melihat pasukan musuh yang lewat dekat mereka,” tulis Husaini. Selain menulis naskah drama, Hasan Tiro di masa hidupnya juga melahirkan beberapa karya lainnya, yaitu Demokrasi untuk Indonesia (1958), Masa Depan Dunia Melayu (1968), Atjeh bak Mata Donja (1968), dan The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro (1979), yang telah beberapa kali dicetak ulang.(serambinews)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Next
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

Posting Komentar