Jarum jam menunjukkan pukul 21.00 WIB. Suasana ruangan itu terlihat ramai. Bunyi dentuman seperti letusan bom atau suara sabetan pedang terdengar bersahutan. Ingar bingar suara “pertempuran” itu berasal dari dalam sebuah warung internet di bilangan Jalan Pocut Baren, Banda Aceh, Kamis (15/1) lalu.
Aksi para hero bertempur di layar monitor ini membuat para gamer mania yang rata-rata usia sekolah betah berjam-jam memelototi layar komputer. Di sudut lain, beberapa remaja tampak begitu cekatan memainkan mouse menciptakan manuver agar “hero” atau jagoan mereka dapat menaklukkan musuh.
“Baru sampai level 12 sudah mati. Targetnya bisa meruntuhkan tower itu, tapi gagal lagi,” kata Taufan Muhammad Syakib setengah putus asa.
Remaja berusia 14 tahun yang ditemui Serambi di sebuah warung internet di kawasan Pocut Baren, Banda Aceh, ini terbilang masuk dalam kategori gamer mania atau remaja pencandu game online. Bersama sejumlah teman seusianya, Taufan tampak menikmati permaian game online bergenre peperangan itu.
Ia menyebutnya dengan nama Dota. Game Dota merupakan salah satu game yang banyak diganderungi kalangan gamer mania. Game ini dimainkan secara online. Tidak hanya di Indonesia, game ini juga menjadi favorit di berbagai negara.
Dota merupakan singkatan dari Defense of the Acients, sebuah game di mana pemain harus mempertahankan wilayahnya dan menyerang wilayah milik pemain lain. Ada sekitar 80-an hero yang dapat dipilih pemain. Setiap pemain dapat bertempur one by one ataupun bersama tim yang berjumlah lima orang. Di pusat markas tim, terdapat “ancient”, yaitu bangunan yang harus dipertahankan setiap tim. Bila ancient salah satu tim berhasil dihancurkan, maka berarti kekalahan bagi tim tersebut.
Taufan berkali-kali berusaha menghancurkan ancient musuhnya, namun selalu gagal. “Butuh waktu dan strategi untuk bisa menang. Paling kurang butuh dua jam, tergantung strategi juga,” kata siswa sekolah negeri di Banda Aceh ini.
Sejak beberapa tahun belakangan game online telah menjadi candu baru bagi kalangan remaja di Aceh. Bukan rahasia pula ada warnet yang menyediakan paket internet murah di atas pukul 00.00 WIB sampai pagi. Tidak sedikit remaja yang tergiur membelinya. Bahkan lebih memiriskan, keterbukaan internet kini menjadi ancaman baru bagi anak dan remaja Aceh. Dua hal yang menjadi momok bagi masa depan mereka, yaitu pornografi dan game online yang kian menjamur di dunia maya.
Potret Taufan dan teman seusianya merupakan satu di antara banyak kasus remaja Aceh yang kecanduan (addicted) game online. Menjadi pecandu game online membuat Taufan demikian lebih akrab dengan dunia maya, dunia game yang penuh dengan intrik, siasat, kekerasan, bahkan pornografi. Hampir setiap hari, Taufan menghabiskan waktu lebih lima jam memelototi layar monitor komputer.
“Kalau malam Minggu pulangnya pagi, karena bisa dapat paket game murah,” katanya seperti tanpa beban. Setiap warnet penyedia game online umumnya memasang tarif Rp 3.000-Rp 5.000 per jam. Selain tarif per jam, pengelola warnet game juga menawarkan paket murah. Paket mulai berlaku dari sejak pukul 23.00 WIB hingga pagi hari dengan tarif bervariasi, mulai Rp 10 ribu dan ada pula yang lebih murah.
Andriansyah (14), siswa lainnya menuturkan, bermain game online di warnet maupun kafe penyedia wifi jauh lebih nyaman karena koneksi internetnya stabil. “Kalau koneksi internetnya tidak bagus, maka permainannya pasti tidak lancar dan harus diulang lagi dari awal,” tuturnya.
Beberapa warnet penyedia game online juga menyediakan voucher G-Cash untuk sejenis Game PointBlank. Point Blank merupakan game FPS terlaris saat ini. Untuk meningkatkan kemampuan karakter point blank, pemain harus membeli weapon (senjata) maupun character (tokoh) serta helmet. Terdapat dua cara untuk membeli senjata maupun yang lainnya, yakni dengan menukar poin atau dengan cash (beli tunai) lewat vocher G-Cash di warnet atau toko game online.
Harga satu G-Cash mulai dari Rp 9.000 sampai dengan Rp 300.000. Selain itu, ada pula Voucher G-CASH untuk game Facebook. Beberapa warnet juga menyediakan headphone sehingga pelanggan merasa lebih nyaman tak terpengaruh dengan suara bising.
“Hasil penelaahan kami, game online saat ini di Aceh lebih diganderungi anak di bawah umur dari usia 8 sampai 14 tahun. Warung internet atau warnet selalu ramai dikunjungi oleh anak, atau bisa juga dikatakan sebagai rumah kedua bagi mereka dalam bermain,” kata Rudy Bastian, Program Manager LBH Anak Aceh kepada Serambi.
Fenomena game online ini menjadi fokus perhatian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Anak Aceh. Rudy mengatakan, game online sarat mengandung unsur kekerasan yang berdampak negatif dan berbahaya bagi anak.
Sejumlah dampak yang muncul berupa memicu agresivitas anak dan terkikisnya hubungan sosial dalam lingkungannya. LBH Anak juga merilis ada delapan jenis game online yang masuk kategori berbahaya bagi anak.
“Ibarat candu, perlahan-lahan efek game tersebut merusak sisi psikis dan kepribadian anak. Orang tua cenderung abai dan gampang sekali mengizinkan anak bermain game online dengan alasan agar anaknya tidak jenuh dengan aktivitas belajar,” sebut Rudy.
Delapan game online yang dinilai LBH Anak berbahaya tersebut yakni Point Blank, Counter Strike, World of Warcraft, Call of Duty, RF Online, AION, Gunbound, dan Lost Saga.
Menurut Rudy, semua game online itu menawarkan sensasi praktis bagi anak dengan suasana peperangan, perkelahian, pembantaian etnis, perang antarsuku, dan bahkan pembunuhan sadis terhadap siapa pun yang dianggap lawan. “Game online selayaknya diperuntukkan bagi usia 17 tahun ke atas, tapi kini banyak dimainkan anak di bawah umur,” ujarnya.
Di Banda Aceh, warnet penyedia game online tersebar di berbagai tempat. Jumlahnya mungkin seratusan. Tak ada aturan siapa yang bisa masuk. Sepanjang punya uang, siapa pun diperbolehkan bermain, tak terkecuali anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Hasil penelusuran Serambi ke sekolah-sekolah di Kota Banda Aceh, ada beberapa anak yang terpaksa harus dikeluarkan dari sekolah karena prestasinya jeblok. Anak yang bersangkutan kerap terlihat mengantuk ketika berada di ruang kelas. “Setelah kita selidiki, penyebabnya karena malam hari begadang di warnet,” kata seorang guru.
Praktisi IT Teuku Farhan S Kom menyebutkan, sebuah game tak cuma bisa dimainkan di internet, tapi juga melalui smartphone.
“Orang tua kadang dengan bangga membeli anak HP baru yang canggih. Sayangnya, banyak orang tua yang tak peduli apa yang dilakukan anak mereka dengan gadget-nya, apakah bermain game atau menonton film yang tak layak ditonton,” kata Farhan yang juga Ketua Masyarakat Informasi dan Teknologi (MIT) Aceh.
Pakar psikologi anak asal Aceh, Elly Risman menyebutkan, sejumlah game yang beredar di pasaran dan menjadi pilihan utama anak, sebagian besar mengandung unsur pornografi.
“Padahal, selama ini orang tua tak pernah mengetahui dan peduli dengan jenis permainan yang dimainkan anak mereka,” kata psikolog yang bermukim di Jakarta itu, seperti dikutip Kompas.com.
Selain persoalan pornografi, kata Elly, kecanduan game juga berdampak negatif bagi prestasi akademik anak dan akan mengikis lutein pada retina mata.
Sementara itu, Psikolog Nur Janah Yazid Asyarafi menyebutkan orang tua hendaknya mengontrol aktivitas anak, khususnya aktivitas di luar rumah. Perhatian dan kasih sayang serta komunikasi yang harmonis dalam keluarga akan membuat orang tua lebih cepat menangkap perubahan pada diri sang anak.
“Yang lebih menghawatirkan adalah ketika game online ini menjadi ajang judi dan berisi konten pornografi di dalamnya,” ujar Nur Janah mengingatkan.(*)
Editor's Choice
Tidak ada komentar:
Posting Komentar