Energik, lugas, dan pintar. Kepribadian itu melekat kuat pada sosok Prof Dr dr Dessy Rakhmawati Emril SpS(K).
Saat ditemui Serambi, akhir pekan lalu, wanita berparas ayu ini tengah bersiap mengisi sebuah acara. Setelan seragam biru, khas seorang dokter membalut tubuhnya yang mungil.
"Sore ini, kebetulan ada jadwal syuting menyanyi bersama rekan-rekan Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Aceh," ujarnya.
Dessy Rakhmawati Emril atau dikenal dengan nama Dessy R Emril bukan sosok wanita biasa.
Namanya tercatat dalam berbagai literasi kedokteran terutama untuk bidang keilmuan penatalaksanaan nyeri (pain management).
“Saya suka meneliti, dan ingin terus belajar karena dengan itu saya menggapai passion saya dalam hidup,” kata Ketua Prodi Fakultas Kedokteran Unsyiah ini.
Tepat Rabu besok (19/8) Dessy R Emril resmi menyandang gelar profesor. Ia dikukuhkan menjadi wanita guru besar termuda yang dimiliki Unsyiah saat ini dalam bidang ilmu saraf.
Pengukuhan gelar akademik tertinggi itu dilakukan secara virtual akibat pandemi covid-19.
Insya Allah, acara tersebut berlangsung di Gedung ACC Dayan Dawood Unsyiah dipimpin Rektor Prof Dr Ir Samsul Rizal MEng.
Pengukuhan hanya dihadiri civitas akademika Unsyiah, undangan terbatas dan keluarga.
Dessy meraih gelar guru besarnya dengan angka kredit 859. Diasuh kakek dan nenek Lahir di Pekanbaru pada 23 Desember 1975, Dessy R Emril anak kelima dari enam bersaudara. Ayahnya Drs Emril Daini seorang pengelola yayasan pendidikan. Ibunya Ahdimar Munaf seorang guru SMA.
Di usia tiga bulan, Dessy sudah berpisah dengan orang tuanya. Ia dibesarkan kakek dan nenek bersama tantenya dengan penuh kasih sayang. Mereka adalah Abdul Munaf, Ratna Kasihan dan tantenya Hajisma
“Waktu kecil itu saya sakit-sakitan, lalu kakek dan nenek mengasuh saya,” ujar ibu dua anak ini. Sosok Abdul Munaf dan Ratna Kasihan menjadi figur yang paling berpengaruh dalam hidup Dessy R Emril semasa kecil.
Keduanya pula yang menanamkan nilai-nilai hidup dan membentuk karakternya sampai dewasa.
Namun, pada usia kelas 4 SD, orang tuanya kembali menjemput Dessy tinggal bersama. Waktu itu nenek dan kakeknya merasa sangat kehilangan.
Benci jadi dokter
Dessy R Emril mengawali kariernya sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Unsyiah dan lulus pada tahun 2000.
Ia menikah dengan Dr Teuku Yuliar Arif ST MKom, dosen Fakultas Teknik Elektro Unsyiah yang dikenalnya semasa ikut prajabatan PNS di Unsyiah tahun 2000.
Buah cinta keduanya, dikaruniai dua orang putra T Muhammad Faraz Deyarabi dan Teuku Muhammad Kibria Faizi.
Setahun kemudian ia melanjutkan pendidikan spesialis saraf (neurologi) pada Universitas Indonesia (UI), dan lulus tahun 2005.
Ketertarikannya di bidang manajemen nyeri mendorongnya mengikuti fellowship di Pain Management Centre Singapore General Hospital tahun 2009.
Gelar doktor diraihnya dalam bidang neuroscience (ilmu saraf) pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada tahun 2014.
Pada 2016, bersama rekan-rekannya di RSUZA Banda Aceh, Dessy R Emril merintis berdirinya pusat pendidikan dan pelatihan (fellowship) bagi dokter spesialis saraf untuk bidang keilmuan pain management.
“Peserta yang datang belajar itu dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Mereka adalah para dokter spesialis saraf yang memperdalam ilmunya bidang pain management. Sekarang sudah angkatan delapan,” ungkapnya.
Tak banyak yang tahu, sosok Dessy R Emril semasa remaja ternyata sangat membenci dunia kedokteran.
Tapi karena keinginan kakek dan mamanya, ia akhirnya ‘terjebak’ dalam profesi yang penuh tantangan ini.
“Saya sempat marah (jadi dokter), karena sangat melelahkan menjalani pendidikan. Sampai saya berpikir kelak anak saya tidak boleh sekolah di kedokteran,” tuturnya.
Kado terindah
Beberapa penelitiannya kini kerap menjadi rujukan dalam penanganan kasus pasien dengan nyeri kepala karena sistem saraf yang terganggu.
Seperti halnya temuan obat citicoline untuk penderita stroke digunakan untuk mencegah nyeri neuropatik yang novelity-nya (memiliki kebaruan) dari obat tersebut telah dipatenkannya.
Temuan lainnya, Dessy R Emril sukses menciptakan sebuah konsep penanganan pasien dengan nyeri campuran yang disebut “The New Concept of Mix Pain”.
“Sekarang konsep tersebut digunakan dan diakui secara internasional untuk mengobati pasien yang menderita nyeri campuran,” ujarnya.
Bagi Dessy R Emril, gelar guru besar adalah sebuah pencapaian hidup yang datang di waktu tak terduga.
Capaian puncak karier akademik itu juga dimaknai sebagai kado terindah bagi orang-orang yang telah berjasa dalam hidupnya.
"Terutama untuk papa, nenek dan kakek yang telah lebih dulu pergi. Andai mereka masih hidup, saya ingin mereka ada di sini, di hari pengukuhan saya,” ucap Dessy. Matanya berkaca-kaca** (Ansari Hasyim)
Oase Kehidupan
Kemanakah angin berembus ketika udara sembab menusuk
Beku
Di antara malam sunyi tak bertepi
Ataukah hanya sekadar melintas di antara hangatnya pelukan asa
Mungkin adalah oase dimana semua rasa menjadi satu
Menjadi selaksa cinta mendendangkan harmoni kehidupan
Memberi warna dalam jiwa
Seumpama sejuknya bulir embun
Membelai rumput-rumput liar
Sepanjang masa berganti
Sebab, esok adalah cerita tentang cinta, harapan dan pengabdian.*
(Yenzhu Ozawa)
Editor's Choice
Tidak ada komentar:
Posting Komentar