Rintihan Sesal untuk Papa, Tsunami dan Panggilan Jiwa untuk Aceh
Dessy R Emril menghabiskan masa remaja di Pekan Baru sambil bersekolah di SMP 4 Pekanbaru dan berlanjut ke SMA 1 Pekanbaru.
Pergulatan hidup baru dimulai saat ia tamat sekolah dan melanjutkan pendidikan ke Fakultas Kedokteran Unsyiah.
Saat itu Dessy sudah tinggal jauh dari orang tua. Ia memilih merantau dan indekos di Banda Aceh.
Menurut ibunya, Aceh adalah tempat yang paling tepat untuk melanjutkan pendidikan karena budayanya agamis. Praktis sejak menjadi mahasiswa, Dessy fokus pada belajar.
Ia tidak mau banyak disibukkan dengan kegiatan lain, kecuali belajar. Tekadnya membaja ingin menjadi dokter mendapat dukungan penuh dari kedua orang tuanya. Meski hidup dirantau, Dessy tidak kekurangan.
Segala kebutuhan hidupnya terpenuhi. Mengenang masa itu, ia terngiang pada sosok ibu kos-nya di Sektor Selatan Darussalam yang begitu baik.
Termasuk juga keluarga H T Makmur (mantan dekan FK Unsyiah ) yang sudah dianggapnya seperti keluarganya sendiri.
Tidak seperti kebanyakan mahasiswa kedokteran lainnya, saat itu yang rata-rata menyelesaikan pendidikan S1 selama 8 hingga 10 semester.
Tapi Dessy mampu menyelesaikan seluruh SKS pendidikan dokter dalam waktu 7 semester.
Nasib baik, pada tahun 1999, saat dia masih menjalani pendidikan profesi, Dessy lulus tes menjadi dosen PNS di Unsyiah.
Ia menyelesaikan pendidikan S1 dan profesi di Fakultas Kedokteran Unsyiah pada tahun 2000.
Pada tahun yang sama Dessy menikah dengan Dr Teuku Yuliar Arif ST MKom, dosen Fakultas Teknik Elektro Unsyiah, dan dikaruniai dua orang anak T Muhammad Faraz Deyarabi dan Teuku Muhammad Kibria Faizi
“Papa sempat merasakan kekhawatirannya saat saya mengutarakan akan menikah dengan orang Aceh, tapi pada akhirnya beliau bisa menerima keputusan itu,” ucapnya.
Tak lama setelah menikah, pada tahun 2001, Dessy memutuskan melanjutkan pendidikan dokter spesialis saraf di Universitas Indonesia.
Tapi segalanya berubah saat tiba-tiba pada 2004 tsunami menerjang Aceh.
Kala itu Dessy sedang mempersiapkan tesisnya.
Tragedi tsunami yang meluluhlantakkan Aceh wakti itu membuat keluarga Dessy di Pekanbaru memintanya pulang ke kampung.
“Hanya papa yang satu-satunya bilang ‘Dessy kamu jangan tinggalkan Aceh di saat Aceh dalam kehancuran. Aceh masih membutuhkan kamu’ Padahal kesempatan saya untuk meninggalkan Aceh saat itu begitu besar. Apalagi UNRI saat itu sudah punya Fakultas Kedokteran,” kenangnya.
Ayah, bagi Dessy adalah sosok yang memegang teguh idealisme, bukti cinta dan pengorbanan.
Hati kecilnya menginginkan Dessy pulang ke Pekanbaru dan hidup bersamanya.
“Papa bercerita kepada teman akrabnya, dia sedih sekali saya tidak tinggal bersama beliau. Katanya, ‘saya sangat menginginkan minum kopi di rumah anak saya di sini’, itu diceritakan teman dokter papa saya waktu itu,” ungkapnya.
“Tapi idealismenya mengatakan saya tidak boleh meninggalkan Aceh, saya harus mengabdi di Aceh. Jadi sebetulnya papa saya melepaskan saya ke Aceh dengan air mata. Saya tahu papa sangat sayang sama saya. Tapi beliau merelakan saya mengabdi di Aceh, padahal kalau mengikuti hati kecilnya beliau ingin saya bersamanya, merawatnya di hari tua,” ujar perempuan berparas ayu itu.
Pada Mei 2005, ayahnya mendatangi Dessy di Jakarta.
Tidak disangka itulah pertemuan terakhirnya dengan sang ayah. Tiga hari berselang kemudian, sang ayah jatuh sakit.
Dessy diminta pulang ke Pekanbaru hari itu juga.
Tapi kondisi Aceh yang kacau balau tidak memungkinkan ia pulang segera.
Akhirnya ia harus merelakan ayahnya pergi untuk selamanya dan baru tiba di Pekanbaru saat papanya akan dikebumikan.
Dessy tidak pernah menyangka papanya akan “pergi” hari itu juga.
Karena beberapa hari sebelumnya papanya baru saja menemuinya di Jakarta.
Itulah terakhir kalinya dia berjumpa dan bercerita banyak tentang pendidikan dan keluarganya di rantau.
“Itu penyesalan terbesar dalam hidup saya, saya tidak sempat memenuhi panggilan papa saat beliau dalam kondisi sakit sampai akhirnya meninggal,” ujarnya.
Matanya berkaca-kaca saat menceritakan kembali pengalaman 14 tahun silam itu.
Ayah, nenek dan kakek adalah tiga sosok yang memberi pengaruh besar bagi perjuangan Dessy menggapai cita-citanya hingga menjadi guru besar seperti sekarang.
“Juga tante saya, sampai akhirnya ia telat menikah karena ikut mengasuh saya,” ujarnya dengan nada lirih.(*)
Editor's Choice
Tidak ada komentar:
Posting Komentar